Nah, sepulang dari majelis tersebut, saat itu mendekati magrib, benar saja, Allah langsung menguji ucapannya. Di tengah jalan sepi dan kerap dianggap angker itu dia mendegar suara terbahak-bahak. (duh, rada merinding nulisnya..haha). Jelas bukan manusia, karna kanan kiri jalan itu adalah sawah yang membentang. Spontan dia pacu gas motornya sambil terus berdzikir.
"Wah, Din, ternyata Allah langsung kasih ujian apa aku sesuai yang aku omongkan. Baru beberapa menit berdakwah, langsung komitmenku diuji. Baru beberapa menit berucap, omonganku langsung ditempa." ungkapnya pada saya saat itu.
Hari ini, mungkin dia sudah lupa pernah menceritakan pengalaman tersebut, tapi entah kenapa, cerita sederhananya itu justru membuka satu hikmah bagi saya.
Hikmah besar itu ada di surat Al Ankabut
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?[2]. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Nah loh, apa hubungannya?
Kalo bahas ayat saya ga punya ilmu. Dan bukan itu yang mau saya bahas. Tapi sekedar sharing saja, bahwa kami, saya dan suami berkali2 mengalami ujian iman tersebut.
Dan hari ini, sangat terasa sekali ujiannya.
Ini bukan tentang klaim keimanan, tapi tentang diskusi yang sempat kami lakukan kemarin tentang riba. Iya RIBA, Satu hal yang menggalaukan kehidupan rumah tangga yang pengen menambah kebutuhannya.
KPR rumah, leasing kendaraan, sampai ranah investasi tabungan.
Galau karna lembaga keuangan mana yang tak menarik tambahan pada pinjamanya di jaman sekarang ini? Galau juga kalo ngga minjem mau beli pake daun... (hhihi).
Saya dan suami panjang lebar membahas ini. Tapi karna kami toh bukan ahli fiqh, apalagi ahli ekonomi, ya bekal kami cuma baca terjemahan Qur'an saja yang senyatanya, sejelas-jelasnya, tanpa basa basi, Allah larang itu yang namanya riba.
Maka pada kesimpulannya, adalah sabar dan syukur jadi solusinya. Selama masih ada lapang dalam rizki, ringan dalam ibadah, cukuplah ikhtiar sesuai tuntunan saja, biar Allah urus sisanya. Klasik. Tapi lagi2, ini memang tentang orientasi kehidupan, tentang keyakinan, jadi kadang memang berbuah pada isu yang sensitif.
Dan benar saja....
Belum ada 24 jam, langsung ada tawaran KPR dengan dp murah dan cicilan ringan. Saya dan suami ketawa sendiri. "Tuh kan bi, kalo kita komit mau ikut Allah, ga usah susah nyari godaanya...nih sudah disediain langsung ga sampe 24 jam.." :))
Itu ujian pertama, lolos tanpa galau. Sudah mantep di hati atas ijin Allah.
Tapi tak cukup di situ..
Bada isya' tadi, terdengar suara penjual sesuatu di depan rumah. Entah apa, karna tak ada biasanya.
Setelah cukup dekat, terdengarlah seseorang menjajakan keset kain. Keset? di malam seperti ini. Tak lumrah memang.
Lalu seketika suami ingat tadi saat di masjid memang ada penjual keset. Masih muda, memanggul keset2nya entah dari mana, dan sempat suami lihat ia memasang 2 keset di teras masjid. Entah dibeli takmir atau dia sedekahkan. Kami beranggapan dia bersedekah saja, karna suami melihatnya saat itu usai sholat dan jamaah sudah bubar.
"Beli aja yok, bi.. Siapa tau bisa buat ongkos pulang" kataku iseng pada suami.
Belum selesai makan malamnya, suami segera memanggil si tukang keset.
Terjadi percakapan di teras depan. Saya mengintip dari dalam, terlihat si tukang keset tertunduk, mengusap matanya, tapi tak begitu jelas apa yang sedang dibicarakannya.
Ah, mungkin dia memang butuh ongkos, pikirku...
Lalu masuklah suami ke dalam. Mengambil beberapa lembar rupiah uang belanja kami. Kemudian keluar. Pamitlah si tukang keset dan suami masuk dengan membawa 7 buah keset.
Saya yang sudah tau kebiasaan suami yang kerap kali "tuku welas", cuma bisa nanya: