Rabu, September 17, 2014

Refleksi Hidup

Tetiba pagi ini saya merefleksi hidup.
Perjalanan hidup saya seolah kembali berputar dalam ingatan. Hidup yang sebenarnya, yang saya mulai dengan memilih menikah.
Tak ada yang menyangka, bahkan saya sendiri tidak pernah menyangka akan menikah di umur 23 tahun, hanya beberapa bulan setelah wisuda, yang sebelumnya masih punya kisah cinta yang complicated, dan bisa dipastikan tidak akan jadi sebegitu cepat. :)

Ya, kmudian datang tanpa diundang, sebuah pernyataan serius dari seorang pria yang kota kelahirannya saja baru kudengar darinya sebulan sebelum menikah.
Buku-buku yang pernah kubaca, tentang bagaimana pernikahan adalah ibadah yang menentramkan, membuatku memutuskan YA untuk menikah dengan SEDERHANA. Sangat sederhana tepatnya.
Lalu apakah tak ada angan2 pernikahan sempurna layaknya cinderella? Ada, tapi itu dulu sekali. Saat tiba waktunya, semua itu seolah menguap begitu saja, yang tersisa hanya perjalanan menuju ibadah yg sakral...penuh khidmat.

Muda, menikah, bekerja.
Terpaksa meninggalkan seorang pria yg baru berstatus suami selama 10 hari bersama mertuanya. Tanpa komunikasi, selama satu setengah bulan. Dilanjutkan satu setengah tahun lamanya, dengan tingkat petemuan 1-2 hingga 3 bulan sekali, dan telepon berjam2 sebelum tidur, setiap hari.

Resign. Memutuskan untuk meninggalkan segala bentuk fasilitas dan perhiasan yg betsifat dunia demi mengabdi, menjadi sederhana kembali, namun di samping suami. Tak ada gaji tinggi, apalagi jalan2 kr luar negri dari bonus gaji. Mengabdikan diri, demi meraih surga. Tak masuk akal, dianggap bodoh. Karna surga memanglah masih kasat mata, dibanding perhiasan dunia, maka penjelasan seperti apapun tak kan membuka hati pecinta dunia.
Bukan tak menggunakan logika, karna saya tak bisa menganggur. Bekerja dari rumah saja, meski sebenarnya sempat mendapat kesempatan tawaran bisa masuk bank tanpa seleksi. Tak diambil lagi??? Ya, karna sugguh ketakutan pada siksa riba membayangi....

Hamil dan melahirkan, kemudian kehilangan.
Duka yang membawa rahmat tersendiri bagi kami.
Bila ia masih di sini, bisa jadi saya adalah seorang ibu yang masih gemar berhijab namun tak syar'i, berhijab namun hanya ketika pergi. Yang masih tergila-gila pada fashionisty.
Bila ia masih di sini, mungkin saya adl ibu yg sibuk dengannya, bersibuk2 dngan urusannya, tak mengenal kajian tarbiyah, tak mengenal hijab syar'i, tak mengenal dakwah. Justru bersenang2 dengannya, mengenalkannya pada gemerapnya dunia, dan membuat saya lalai mengajar ketauhidan padanya.
Bila ia di sini, mugkin saya adl ibu yg merasa begitu beruntung dg segala kebahagiaan sempurna. Merasa tak butuh berlama2 sujud di malam hari, tilawah sepanjang hari, mentadaburi Al Qur'an demi berkomunikasi pada Dzat Yang Maha Mencintai.
Saya mungkin masih menjadi orang yang merasa sdh berhijab, namun masih berpikir seperti manusia liberal. Na'udzubillahimindzalik...

Maka kini, ketiadaannya mungkin mmg 'tepukan' ringan untuk menyadarkan saya yang bodoh dan tuli pada nasehat kebenaran. Yang dulu masih enggan dengan hijab syar'i meski tau itu benar. Yang dulu masih bermalas2 dalam majelis ilmu, padahal tau itu benar. Yang masih gemar ngemall, nonton, nongkrong, ghibah, dst... :'(

Dan dari sekian perjalanan hidup, terimakasih Allah atas segala rahmat yang melapangkan dada ini dari kesempitan dan gemerlapnya dunia....terimakasih atas suami yang begitu sabar menemani dan menerima. Mencintai dan bekerja keras dalam niat ibadah. Yang menuntun bukan menghakimi... Terimakasih atas rejeki yg cukup dan menentramkan dan yang lepas dari keragu-raguan akan sifatnya.
Terimakasih Robb...atas pertemuan dengan saudari2 seiman yang meneguhkan jalan di atas syariat....

...
Sept 17, 2014.
Hamba yang masih sering lupa bersyukur..