Rabu, Agustus 28, 2013
Kadar Kesabaran
Seorang ayah yang kehilangan putrinya dan seorang kakak yang kehilangan adiknya yang cantik karena tembakan snipper di dadanya. Seorang wanita yang kehilangan pria, yang belum lama menjadi suaminya, yang tertembak di dagu hingga menembus lehernya. Betapa mereka kuat.
Sehari lalu seorang tetangga ke sini. Kami mengobrol banyak. Salah satunya tentang Mashka.
"Ah, din sempat terpikir ga jadi olehku pas syawalan itu datang kemari untuk ngepasin bajumu." beberapa waktu lalu aku memang memesan baju darinya.
"Tapi begitu ketemu, malah aku yang heran kamu masih bisa tertawa. Sampai aku sempat ngomong sama suami, kalau saja aku yang kehilangan, mungkin aku uda gendong2 guling kemana2 karna stres. Kamu dipilih karna kamu yang kuat menjalani ini." ungkapnya yang membuatku menerawang sejenak.
"Ah, kalau saja kamu tau bahwa akupun masih terus berjuang agar selalu kuat, rin..."
Lalu meluncurlah ceritaku tentang rumah sakit dimana Mashka pernah dirawat. Dimana aku bertemu dengan ibu2 yang begitu tegar dan sabar. Pada awalnya, tentu aku tak bisa berhenti menangis, meratap dan meratap. Tapi sekarang aku tau, sebelum semua ini, Allah melatih dengan pertemukanku dengan mereka agar aku mampu kuat dan memahami makna.
Pada hari pertama Mashka dirawat, saat mataku masih bengkak dan sembab setelah menangis dari pagi, sorenya aku bergabung dengan ibu2 lain di ruang memeras ASI. Karena ASI ku yang belum banyak keluar dan belum mengerti tekniknya juga, hampir 2 jam aku diruangan itu. Dan selama itu pula berganti2 teman yang datang dan pergi.
Salah seorang memberi tahu tentang jaminan yang seharusnya kami urus. Bahkan dia memberi kami contoh data2 yang harus kami persiapkan.
"Kita ga tau mbak kapan anak kita di sini, jadi lebih baik pergunakan apa yang bisa meringankan" Ah, terimakasih mba Yulie...dari situ aku berkenalan dengannya.
Saat melihat mataku, seolah sudah terbaca bahwa aku baru di situ. Keingiintahuanku menggelitik untuk bertanya, walopun belum ada yang kukenal di ruangan itu.
"Ibu2, maaf ya...kok ibu2 di sini begitu kuat dan sabar?" tanyaku.
Seorang ibu tertawa, aku makin penasaran.
"Hoalah mbak, kalo di sini kita stres, gimana anak kita yang di dalem sana", ungkapnya.
"Bener, mbak. Anak kita kan sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Untuk siapa? Ya untuk kita, untuk ketemu sama kita orang tuanya. Kalo kita nangis, kasihan mereka. Kita harus kuat mbak." jawab ibu yang lain
"Kita harus semangat, mbak. Biar anak kita merasakan semangat kita dan diapun makin semangat berjuang." celetuk yang lain
"Tuhan ga akan mungkin ngasih kita ujian kalau kita ga mampu menanggungnya, mbak...Sabar...sabar itu kunci pokoknya."
"Jangan sekali-sekali nangis di depan anaknya ya, mbak. Kalo mo dibilang, ga ada seorangpun yang mau di sini seperti kita. Kita juga ga minta akan seperti ini. Tapi kita harus sabar. Kita yang terpilih menjalani ini, berarti kita lebih kuat dari ibu2 yang lain yang anaknya sehat. Sabar ya mbak, di sini kita ikhtiar" yang lain menasehati.
Hati ini mendadak seperti dibangunkan benteng kokoh dan diam2 berbisik dalam hati, "Ya, saya harus kuat demi Mashka yang sedang berjuang".
Yach, meskipun kami tau, apapun bisa terjadi di ruangan itu. APAPUN. Keajaiban atau kehilangan. Semua menyadari itu. Tapi demi hormon oksitosin yang merangsang air susu kami keluar, kami harus bahagia. Demi buah hati kami yang meski menderita tapi terus berjuang untuk bersua dengan kami para orang tuanya.
Saat kami harus berhadapan dengan mereka, ibu2 yang baru saja kehilangan buah hatinya, kami tau dan sadar bahwa bukan tak mungkin kami pun akan berada pada posisinya. Kemudian kami akan saling mendoakan. Begitupun denganku, saat ternyata aku harus berada pada posisi itu. Sepenuh hati akupun berdoa agar mereka yang masih tegar menunggui anaknya tetap diberi kekuatan, kesabaran dan yang terbaik. Kala itupun mereka akan bergantian memeluk, bahkan beberapa sampai menyusul di ruang jenazah untuk mengantar Mashka dan menguatkanku seperti saat aku pertama kali di sana.
Pembicaraan kematian bukan hal yang baru. Kami tau, kami harus berdamai dengan cobaan ini. Oksigen, ventilator, selang irigasi, selang residu, bukan lagi jadi pembicaraan yang asing, apalagi infus. Terimakasih Allah, pernah mempertemukanku dengan mereka. Dari merekalah aku belajar untuk tetap tegar. Allah melatihku, sebelum aku harus berpisah dengan jagoanku. Dia Yang Maha Mengetahui pasti telah memperhitungkan segalanya. SEMUANYA, tanpa cela. Mungkin jika aku tidak diperkenalkan dengan ibu2 ini, aku tak kuat menjalani ini semua. Betapa Dia telah mengatur semuanya begitu detil.
Kemarin (dengan mengerahkan segala kekuatan hati), aku dan suami pergi ke RS dimana Mashka dirawat. Niat awalnya jenguk salah seorang guruku yang dirawat karena stroke. Namun setelahnya, kita memutuskan untuk bersilaturahim kepada orang-tua2 temen Mashka. Begitu sampai di lantai yang dituju, terlihatlah tikar2 karet/ plastik sudah digelar. Ya, sudah bada magrib, emperan ruang tunggu sudah disulap jadi tempat tidur para orang tua yang menunggui buah hati mereka. Tidak seramai saat aku masih di sana. Dalam hati aku bersyukur, semoga yang tidak lagi aku temui adalah mereka yang sudah bisa kembali ke rumah dengan sukacita.
Ada mbak Yulie, kenalan pertamaku di sana. Kami bersahabat layaknya anak kami yang memiliki nasib serupa. Hanya saja Mashka bertahan selama satu minggu, dan Gendhuk (panggilan utk anak mba Yulie) terus berjuang selama hampir dua bulan. Ibu yang luar biasa sabar ini menceritakan perkembangan anaknya. Masuk ke ruang isolasi karena adanya kuman baru, saturasi udara yang naik turun sampai biru, dan tentang dokter yang ketus dan tidak peduli. Dan apakah sahabatku ini menceritakannya dengan menangis? TIDAK! Bahkan dia tersenyum, juga suaminya. Meski aku dan suami tau betul, sisa kepanikan dan kelelahan tergambar jelas di wajah mereka.
Ingatanku tiba2 menangkap Mashka ketika biru. Sambil berusaha tetap tenang berusaha memancing refleknya. Ya, menahan kepanikan ketika anak kita mungkin telah ditunggu sang Izroil, itulah tugas kami. Dan hal itu juga yang mbak Yulie dan ibu lain lakukan demi terus kuat berada di samping buah hati tercintanya.
Cerita lainnya mengalir. Beberapa kasus prematur sudah pulang. Beberapa yang sudah menjalani operasi juga sudah pulang, walaupun ada operasi lanjutan ketika sang bayi sudah memiliki berat cukup. Beberapa ada yang menyusul Mashka. Ada yang sudah pulang, namun ketika kontrol harus masuk lagi karena kondisi yang masih butuh perawatan. Bahkan ada yang pulang paksa. Prosedur ini digunakan untuk keluarga yang sudah 'menolak' tindakan medis lanjutan dan membawa pasien pulang. Tak henti2nya saya menyebut Allah dalam hati.
"Jangan nangis, din. Kamu di sini untuk menguatkan, bukan menangis dan kembali meratap", tak henti2nya ucapan itu terlontar dalam hati.
Pelukan dan genggaman erat sambil diam2 berdoa saya berikan pada mba Yulie dan mba reni yang kebetulan cuma mereka yang sempat saya temui. Yang lain, mungkin masih menunggu di dalam. Sepenuh hati saya berdoa semoga Allah berikan yang terbaik bagi sang buah hati dan orang tua mereka yang begitu sabar.
Allah menguji kita sesuai pada kadarnya. Dan ketika ujian itu mampu dilalui, itu berarti kita telah melompati satu tangga menuju tingkatan atasanya. La Tahzan...karena Allah bersama saya dan siapapun anda yang sedang menghadapi ujianNya. Dia hanya sedang mengungkapkan betapa cinta dan perhatianNya begitu besar pada kita. Maha Mengetahui Allah yang mengetahui kekuatan kita untuk menghadapi ujianNya. La Tahzan...
Dan Allah Maha Menepati Janji, maka ketika saya kembali merindukan Mashka, inilah yang saya ucapkan, doa yang sama ketika Ummu Salamah kehilangan Abu Salamah di medan jihad dan Allah mengganti Rasulullah menjadi suaminya.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”,
Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Semoga saya, dan anda bisa mengambil hikmah dari apa yang menimpa orang2 di sekitar kita.
Minggu, Agustus 25, 2013
AIR MATA INI, UNTUK SIAPA?
Ku bertanya pada diri
Saat buah hati yang dicinta
berpulang padaNya:
Air mataku yg tumpah itu
Untuk siapa sebenarnya?
Untuk dia yang pulang?
Atau untuk diriku yang ditinggalkan?
Masgul kujawab jujur:
rasa rinduku
kehilanganku
(dan begitulah kurasa
Orang2 menangis saat ada yang meninggal,
bukan menangisi si mayit,
tapi menangisi dirinya sendiri, sambil bertanya:
Siapa lagi yang akan menemaniku?
Bagaimana kalau aku rindu denganmu?
Siapa yang akan mengajakku tertawa lagi?
Dst, dst)
Lalu, saat ksatria mungilku itu
kini berpulang
dengan tidur panjang yang sangat nyaman
dalam belaian dan dekapNya
Pantaskah masih ada air mata?
Mungkin, pantas
Air mata untuk menangisi diri (lagi)
tentang nasib diri yang belum pasti
akan seperti apa nanti
saat maut menghampiri
Wahai ksatria kecilku.
dari jauh tempatmu di situ
Doakan ummi ya naaak
agar dapat berpulang dengan nyaman
seperti pulangmu
dan memelukmu penuh rindu
suatu hari nanti….
#####--#####
Lagi-lagi bunda Mukti mengingatkanku dengan tulisannya. Kali ini cukup membuatku speechless dan lemes. Ya, selama ini siapa yang aku tangisi jika bukan aku sendiri? Menangisi rasa rindu yang aku rasakan sendiri. Padahal bukankah pada hakekatnya setiap detik yang kita lalui justru mendekatkan pada kesempatan untuk bertemu pada mereka lagi yang telah dipanggil?
Aku mulai bangkit kembali dengan tulisan ini. Mencoba mengorek2 hikmah yang ada atas semua kejadian ini. Memompa motivasi yang sempat kempes. Dan dia yang Maha Memberi Petunjuk membuatku yang secara tidak sengaja mendapati tulisan tentang penyakit yang sempat diderita Mashka. Dia mengalami satu dari 5000 kejadian kelahiran berdasarkan sebuah tulisan ilmiah yang sempat kubaca. Tanpa komplikasi apapun selama kehamilan. Bahkan belum bisa terdeteksi dengan alat secanggih apapun selama kehamilan. Sempat ada pertanyaan ratapan: "Kenapa anakku?", yang kemudian kuikuti dengan berulangkali istighfar. Memohon ampun karena sejenak menggugat putusanNya.
Aku kembali menekuri, mencari-cari hikmah. "Bukankah ini adalah pilihanNya? Mashka, dan kami, dan seluruh keluarga kami, dipilihNya, dari 5000 bayi lahir di 5000 keluarga lainnya. Ya, karna ajal tak bisa dimundurkan atau dimajukan. Jadi bukankah ajal tak perlu dipertanyakan? Bahkan bukankah panglima Khalid bin Walid yang gagah berani justru meninggal di atas tempat tidurnya sendiri? Cukup keyakinan bahwa inilah waktunya untuk berpulang dan mensyukuri karna Sang Pemilik pernah meminjamkannya sejenak.
Mashka adalah bentuk kasih sayangNya padaku, suamiku dan kluargaku. Banyak pesan yang tertambat saat kehadiran, terlebih ketika kepulangannya. Ya, inilah bukti cintaNya. Bukti cinta Sang Pencipta kepada hambaNya.
"Lalu apalagi yang kucemaskan?", perntanyaan itu kuajukan sendiri pada diriku. "Apalagi yang kau tangisi, Din?". CintaNya karna menjemput putramu yang masih suci untuk menikmati surgaNya kembali? CintaNya karna masih mengingatkan betapa ujian adalah bentuk perhatianNya kepada kalian yang ditinggalkan? Atau cintaNya yang memilih kalian untuk menerima diskon surga dengan jalan kesabaran?
Kali ini aku menangis, tapi bukan lagi kesedihan, bukan lagi ratapan, tapi rasa malu. Rasa malu atas dosa2 tergambar kala sujud. Dan tangisan syukur karna dengan dosa2 yang begitu banyaknya Dia masih memberi segala ampunan dan kemurahanNya menjadikan kami terpilih menerima ujian menuju tingkatan iman selanjutnya. Tuntun kami ya Allah...Bimbing kami ya Allah...hingga kami layak berkumpul kembali di tempat terpuji.
Dalam rindu penuh syukur 25.8.13
Inspirasi: rumah kain kasa bunda
Jumat, Agustus 23, 2013
Selamat Pagi, Le...
Tanggal yang sama sebulan lalu...
Allah tunjukkan sebuah keajaiban penciptaan makhluknya...
Ya, sebulan lalu kamu lahir, sayang...
Di kala matahari masih malu...
Saat daun2 berucap syukur atas terciptanya embun..
Selamat pagi, wahai prajurit syurga..
Hanya ini yang mampu umi dan abi persembahkan...
Sujud panjang pd Sang Pemilik Segala..
Memohon jubah jubah terbaik utkmu...
Meminta air susu ternikmat yg mengalir di surgaNya..
Memohon kehangatan kasihNya untukmu...
Ahh, Le...
Sbenarnya umi pun paham
bahwa tak perlu memohon padaNya begitu...
Apapun yang kau butuhkan pasti ada
Apapun yang kau minta pasti dikabulkanNya,bukan?
Ya, karna Dia Yang Maha Menjaga terus menjagamu di surgaNya...
Dan bukankah sebaik2 tempat kembali adalah surga?
Dia pasti maklum,
karna hanya ini yang mampu kuberi untukmu, anakku yg sholeh..
Seuntai doa, rangkaian dzikir...
Berharap air mata yg mengalir bersamanya menjelma embun penyegarmu...
Mashka, prajurit surga umi dan abi...
Nyenyakkan tidur panjangmu, sayang...
Bermainlah di taman surga yg indah...
Peluk cium rindu dari umi dan abi...
Jumat pagi.23.8.13
Kamis, Agustus 22, 2013
Semburat Kasih Ibu pada Purnama
Kupandangi bulan malam ini..
Indah...namun mengabur seiring rasa rindu yg semakin membuncah...
Saraf otakku mengirim sinyal ingatan...
Pada posisi bulan yang sama, diputaran yang lalu..
Aku bertahan dengan apa yg orang sebut gelombang rahim..
Aku berjuang menahan sakitnya...
Kau berjuang menemui kami...
Semburat bayangan bulan..
Tergambar seorang ibu menggendong anaknya...
Semburat bayangan yang ada ketika aku dan kau berjuang di medan syahid...
Sungguh kala itu aku rela melepas nafas untuknya...
Hingga fajar tiba dan menuai keajaiban kehadiran prajurit surga...
Ah,sayang...
maafkan jika malam ini umi masih menggugu merindumu...
Lihat, alangkah indahnya bila ibu dan anak di bulan itu adalah kita...
Yang mengisi kesunyian malam dengan kehangatan pelukan...
dengan kesunyian hati yg melantunkan lagu kasih...
Sungguh umi sangat merindukanmu,duhai prajurit syurgaku...
Di sini sepi tanpamu,sayang...
Tidurlah di pangkuan umi sejenak lewat mimpi...
Umi akan minta ijin kepada Pemilikmu...
Seperti malam2 sebelumnya, setelah doa tidur, ayat kursy, dan alfatihah...
Ya Rabbi...
Berilah kesempatan pada ibu ini rasa bahagia bertemu sang buah hati ..
walaupun hanya di alam mimpi...
Allah...iman ini masihlah dangkal...
tapi ijinkan Ya Rabbi...Dzat Yang menguasai seluruh hati...
Yang Memegang seluruh jiwa...
Obatilah jiwa yg merindu ini lewat mimpi...
Seperti kuasanya Engkau menggambarkan kasih ibu dan anaknya pada semburat di purnama...
Maka gambarkanlah kasih kami lewat mimpi malam ini...
Sepi. 22.8.13
Puisi Penghibur Duka
kita berbincang tentang langit malam
disana..nun di balik pekat cakarawala...
do'a-do'a setiap kita tertambatkan
merapat bersama tasbih bintang-bintang
milikmu, adakah disana?
tentu anakku
engkau mesti menjaga-Nya
hingga Ia yang Maha penyayang
berkenan melindungimu
bukankah Ia memberi jika engkau meminta?
maka berdo'a lah,sematkan ia di sana
di sisi takbir mahluk-mahluk langit
tak ada yang bisa kuwariskan anakku sayang
hanya bisa aku kabarkan
sabda suci dari sang Nabi
tentang keagungan Tuhan nya
Rabb kita....
Tuhanku juga Tuhanmu
Kemuliaan Nya disana nak,
Bersemayam di atas Arsy yang maha suci
dan demi umurku!
Ia sedekat ini
serapat buluh-buluh nadi
maka masihkah engkau merasa sepi?
hanya ini anakku
ini saja yang aku punya....
*hiawata*
----- 888 -----
Bermimpilah yang indah, anakku
saat kucium keningmu dengan mata basah
disini ada ayah dan ibu yang selalu mengirim doa untukmu nak
Airmata kami insya Allah
akan menjelma seumpama titian pelangi
membawamu kesana, ke haribaanNya
yang kekal
bersama doa-doa yang kami lantunkan
setiap saat, setiap kali,
Bermimpilah yang indah, anakku
Kamu tak akan sendiri
Kami selalu hadir untukmu, disampingmu
menyenandungkan tembang-tembang syahdu
Kami selalu ada bagimu
bersama lirih dzikir dan takbir penuh tawadhu’
Bermimpilah yang indah,anakku
dalam lelap tidur panjang, kasih ayah ibu menemanimu.
Sumber : rumah kain kasa bunda
Melerai Duka, Melarung Lara
Bukan untuk menggugat keputusanNya, tetapi untuk melerai duka, melarung lara.
Semoga dengan menulis ini tidak mengurangi nilai kesabaran dan keikhlasan, karena aku tetap ingin digolongkan orang2 yang sabar dan ikhlas saat ditiimpa musibah.
Secuil kalimat pembuka bunda Mukti, yang kemarin sempat saya cantumkan puisi dari blognya. Dan mungkin akan saya copy juga beberapa posting penghibur lainnya.
Ya, biarkan aku juga menulis untuk melerai duka, melarung lara.
Ketika seperti pagi ini, juga pagi2 sebelumnya aku harus terbangun dengan kenyataan yang harus kuhadapi, tanpa Mashka di sampingku, tanpa Mashka di rahimku...
Ketika siang menjemput, dan tak ada kesibukan mengganti popok, menyusui, atau menimangnya sampai terlelap...
Ketika bayangan akan harapan yang telah sembilan bulan lebih begitu saja hancur, membuat satu lobang menganga di sudut hati...
Sungguh hatiku belum sepenuhnya mampu. Menerima kenyataan ini. Hati ini kadang masih gamang ketika ternyata kini harus berdiri di tempat yang sama, tanpa dia. Astagfirullah...ampuni hamba Ya Robb. Semoga ini bukan bentuk ketidakikhlasan atau gugatan pada KuasaMu. Karena sisi kemanusiawian semata.
Ya Rahim...betapa aku begitu lemah pada perasaan yang terkadang mendengar bisikan godaan2. Sesungguhnya aku hanya berlindung kepadaMu atas bisikan itu. Bukakan mata dengan pertolonganMu, Ya Allah... Karna sesungguhnya pertolonganmu begitu dekat, sedekat urat2 nadi di tubuh ini.
Jika ajal sudah terukir di lauhul mahfudz sana, sungguh maha besar Allah yang mengilhamkanku untuk bersamamu 42 minggu ditambah 10 hari penuh menjelang pergimu, bahkan hingga detik2 terakhirmu. Menggendongmu kemanapun, kapanpun. Dan ketika di rumah sakit, hanya aku yang bisa berada di sampingmu, menjagamu. Bagaimana jika tidak, pastilah aku menyesal tak selalu ada untukmu, sayang.
Jika ajal sudah ditetapkan untukmu tanpa bisa ditangguhkan atau dimajukan, Sungguh Allah Maha besar yang telah membuat skenario agar berpulang setelah abi bisa bertemu denganmu saat berjuang memompa detak jantungmu, hingga Dia memanggilMu, tepat di hari Jumat, di bulan Ramadhan. Dimana beberapa kali abimu sering membisikkan untuk mengajakmu sholat Jumat saat masih di rahim umi. Dimana saat hari Jumatlah kamu banyak mendengar alunan murotal, bahkan kadang sepanjang hari, ya, saat masih di rahim umi. Itu hari favoritmu, Nak... Hari favorit Allah, untuk lebih banyak menebar rizki, untuk memanggil kekasih2Nya untuk diundang di syurgaNya, seperti saat Dia memanggilmu.
Jika ajal tak mengenal usia, sungguh Maha sayang Allah yang mentaqdirkanmu masih memiliki sepuluh hari bersamaku. Bahkan di menit-menit terakhir, kau yang sudah kehilangan kesadaran masih menunjukkan degub jantung yang kuat hingga tak lama kemudian, kami yang menalqilkanmu, di antara sedu sedanku.
Dan kemudian aku menekuri diri, bukankah semua telah diatur begitu rapi olehNya. Bukankah Dia Yang Maha Segala begitu mencintai Mashka, hingga mengganti rasa sakit dengan kenyamanan dan keindahan abadi. Bukankah Dia Yang Maha Sayang juga mencintai kami dengan meperhatikan kami lewat ujianNya. Oh, Rabbi...
Dia yang pernah datang, tak pernah benar2 pergi. Justru smakin dekat, karena ia ada dalam kenangan yg selalu kubawa, kemana pun ku pergiDan pagi ini saya kembali membuka blog bunda Mukti, membaca kalimat2 penghibur lara, penyampai kabar gembira akan janjiNya kepada ibu manapun yang kehilangan putra putri terkasihnya.
*ajarkan aku utk IKHLAS
"aku tahu mbak rasa kehilangan ....berdamailah dengan rasa itu...serahkan pada yang Sang Maha Empunya...biarkan isak itu tumpah seperti kekasihNya menggugu dikala Ibrahim sang permata hati diminta Sang Pemilik..biar rasa itu mengkhaliskan seluruh rasa...biarkan rasa itu menuntun pada asa sakinah istana indah di sisiNya. amiin"
Ya, bahkan Rasulullah SAW menangis menggugu di kala Ibrahim sang putra kembali ke Pemiliknya kala usia sang putra masih begitu belia, begitu pula Yaqub As yang dirudung kesedihan tatkala kehilangan Yusuf As, meskipun kemudian mereka dipertemukan kembali.
Mbak, Akan tiba suatu masa, ketika kau menyadari bahwa riak bening di telaga Kautsar adalah muara air mata kesabaranmu di dunia, langit yang menopang keberadaanmu di sisi-Nya adalah rajutan ketegaranmu, dan sinar yang memancar dari setiap sudut istana abadimu adalah senyum keikhlasanmu.
Karena itu, bertahanlah. Jangan biarkan sungai ujian ini menghanyutkanmu, bahkan merenggut akarmu yang tersisa. Sampaikan rindu untuknya, lihatlah ia akan memelukmu dan membisikkan ke hatimu, “semuanya akan baik-baik saja ibu... ayah…”
Semua yang hidup pada akhirnya akan mati. Tapi tak pernah aku bayangkan sesakit ini rasanya saat Dia mengambil buah hatiku. Jika saja rasa ini benda, ingin sekali rasanya memasukannya dalam peti dan menguncinya rapat2, membuangnya di sudut tak terlihat. Tapi rasa ini hampa, tak kasat mata. Yang mampu aku lakukan adalah mencoba berdamai dengannya. Membiarkannya pelahan terkikis waktu. Karena seperti kata orang, waktu adalah obat terbaik. Time is the best medicine. Obat duka terbaik.
Wahai jiwa yang berduka,
yang berjalan menunduk
dan nafas beratnya bertanya,
mengapakah goresan tinta takdir ini
tak berlaku ramah?
Sungguh kesedihanmu
tengah menyiapkan rongga besar di hatimu,
sebagai penampung kebesaran jiwamu
nanti...
Terimakasih, Nak...
Terimakasih telah mengajarkan umi begitu banyak pelajaran berharga....
Tenanglah dalam tidurmu, jangan terganggu pada tangisan pilu umi dan abimu...
Karna kami hanya merindumu, merindu berkumpul denganmu kelak...
karna kami menangisi ketakutan amal kami yang masih kurang untuk menyusulmu...
Tunggu kami, Nak... Tunggu kami di peraduan indah jannahNya...
Dan begitulah, menulislah yang kadang mampu melerai duka melarung lara yang masih menggaruk menciptakan rongga di hati.
Ijinkan aku menuliskan doaku pagi ini,
semoga Allah kuatkan dan besarkan jiwa kami, juga semua orang tua yang Dia ambil putra putrinya...
Semoga Allah satukan kami, juga semua orang tua dengan anak-anak syurgaNya...
Semoga Allah berikan berlipat pahala pada kebesaran jiwa yang kami dan orang tua lainnya perjuangkan tatkala harus menghadapi duka yang meyayat kalbu karna kerinduan kami pada putra putri terkasih yang telah berpulang kepadaNya...
Semoga janji nikmat itu segera terkecap bagi siapapun yang dilanda kesempitan, kesedihan, dan ujian lain dariNya...
Semoga bulir2 kesabaran yang terpupuk menghapus setiap dosa dan menghadirkan nikmat iman dan pahala bagi setiap pejuang kesabaran di bumi ini...
Mesir, Suriah, Palestine, Rohingnya, di manapun semoga Allah limpahkan kekuatanNya untuk mereka yang tertindas dan teraniaya...
Aamiin..aamiin Ya Rabbi..
220813
Ketika pagi terasa masih gamang dan sepi
Beberapa catatan dari rumah kain kasa bunda
Rabu, Agustus 21, 2013
Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif
Membacanya, seolah puisi ini juga dipersembahkan untuk saya. Sebuah puisi yang semoga makin mengingatkan saya bahwa tak ada yang benar2 kita miliki, sehingga tak pantas merasa terlalu kehilangan...
Ya Allah,
Alam semesta raya ini adalah milik-Mu
Segala isinya adalah milik-Mu
Engkau yang menciptakannya,
Engkau Pemiliknya
Engkau Yang Maha kuasa atas semuanya
Termasuk orang-orang yang kucintai
Bahkan diriku,
raga dan jiwaku
rohku...
ada dalam Genggaman-Mu,
dalam Kekuasaan-Mu
Ya Allah,
Syukur dan terimakasih,
Engkau telah menitipkan milik-Mu
kepada kami
Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif
Engkau Maha mengetahui
betapa kami sangat menyayanginya
Tetapi ia milik-Mu
dan Engkau Yang Maha berhak mengambilnya,
memintanya kembali...
Ya Allah,
rasanya sangat sebentar kami bersama-sama
Tetapi banyak kenangan manis di antara kami
Suka dan duka
Bahagia dan kendala
telah kami lalui saat raganya masih di rahim maupun ketika sudah lahir
Kami telah ikhlas, Ya Allah
Karena kami mengetahui
ia sekarang merasa lebih nyaman
berada di sisi-Mu
Tidak ada lagi rasa sakit
yang mendera tubuh mungilnya
Ia sekarang leluasa bermain
di taman syorga-Mu
Sambil tak henti-hentinya bertasbih
mengagungkan Nama-Mu
Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif
memang milik-Mu
tetapi ia telah Engkau takdirkan menjadi anak kami
Tolong ya Allah,
Berilah kekuatan kepada kami untuk menjalani perpisahan ini
Kami tahu...
Ia pun rindu kami,
Abi Ummi..
dan Kakung Utinya..
Kelak apabila kami menyusul dia,
kembali kepada-Mu
Ia akan menunggu dan menyambut kami
di taman syorga-Mu......
Dengan tawanya yang renyah
dan mata yang indah
Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif
akan memeluk kami satu-persatu,
penuh rindu
Allahhumma,
Jurni fii mushibati
Khairum minha
Amiin Ya Rabbal 'alamiin
Sumber: rumah kain kasa bunda
dengan beberapa gubahan
Senin, Agustus 19, 2013
Mashka, Prajurit Syurgaku…
Habibie sempat mengalami depresi ketika Ainun, kekasih hatinya berpulang ke Rahmatullah. Dengan menulis beliau mulai berangsur membaik dan mulai mengikhlaskan segalanya.