Rabu, Agustus 28, 2013

Kadar Kesabaran

Bohong jika aku bilang sudah diuji dengan begitu berat. Kisah2 Mesir yang kubaca kemarin malam membuatku tersadar bahwa ujianku kehilangan seorang putra masih belum apa2 dibanding mereka yang kehilangan suami, anak, adik dan keluarganya yang lain karena kekejaman junta militer. Dan setelahnya mereka masih harus terus menghadapi teror. Belum lagi kisah Syuriah, Palestina, dan berbagai area konflik lainnya.

Seorang ayah yang kehilangan putrinya dan seorang kakak yang kehilangan adiknya yang cantik karena tembakan snipper di dadanya. Seorang wanita yang kehilangan pria, yang belum lama menjadi suaminya, yang tertembak di dagu hingga menembus lehernya. Betapa mereka kuat.

Sehari lalu seorang tetangga ke sini. Kami mengobrol banyak. Salah satunya tentang Mashka.
"Ah, din sempat terpikir ga jadi olehku pas syawalan itu datang kemari untuk ngepasin bajumu." beberapa waktu lalu aku memang memesan baju darinya.

"Tapi begitu ketemu, malah aku yang heran kamu masih bisa tertawa. Sampai aku sempat ngomong sama suami, kalau saja aku yang kehilangan, mungkin aku uda gendong2 guling kemana2 karna stres. Kamu dipilih karna kamu yang kuat menjalani ini." ungkapnya yang membuatku menerawang sejenak.

"Ah, kalau saja kamu tau bahwa akupun masih terus berjuang agar selalu kuat, rin..."

Lalu meluncurlah ceritaku tentang rumah sakit dimana Mashka pernah dirawat. Dimana aku bertemu dengan ibu2 yang begitu tegar dan sabar. Pada awalnya, tentu aku tak bisa berhenti menangis, meratap dan meratap. Tapi sekarang aku tau, sebelum semua ini, Allah melatih dengan pertemukanku dengan mereka agar aku mampu kuat dan memahami makna.

Pada hari pertama Mashka dirawat, saat mataku masih bengkak dan sembab setelah menangis dari pagi, sorenya aku bergabung dengan ibu2 lain di ruang memeras ASI. Karena ASI ku yang belum banyak keluar dan belum mengerti tekniknya juga, hampir 2 jam aku diruangan itu. Dan selama itu pula berganti2 teman yang datang dan pergi.
Salah seorang memberi tahu tentang jaminan yang seharusnya kami urus. Bahkan dia memberi kami contoh data2 yang harus kami persiapkan.
"Kita ga tau mbak kapan anak kita di sini, jadi lebih baik pergunakan apa yang bisa meringankan" Ah, terimakasih mba Yulie...dari situ aku berkenalan dengannya.

Saat melihat mataku, seolah sudah terbaca bahwa aku baru di situ. Keingiintahuanku menggelitik untuk bertanya, walopun belum ada yang kukenal di ruangan itu.
"Ibu2, maaf ya...kok ibu2 di sini begitu kuat dan sabar?" tanyaku.

Seorang ibu tertawa, aku makin penasaran.

"Hoalah mbak, kalo di sini kita stres, gimana anak kita yang di dalem sana", ungkapnya.

"Bener, mbak. Anak kita kan sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Untuk siapa? Ya untuk kita, untuk ketemu sama kita orang tuanya. Kalo kita nangis, kasihan mereka. Kita harus kuat mbak." jawab ibu yang lain

"Kita harus semangat, mbak. Biar anak kita merasakan semangat kita dan diapun makin semangat berjuang." celetuk yang lain

"Tuhan ga akan mungkin ngasih kita ujian kalau kita ga mampu menanggungnya, mbak...Sabar...sabar itu kunci pokoknya."

"Jangan sekali-sekali nangis di depan anaknya ya, mbak. Kalo mo dibilang, ga ada seorangpun yang mau di sini seperti kita. Kita juga ga minta akan seperti ini. Tapi kita harus sabar. Kita yang terpilih menjalani ini, berarti kita lebih kuat dari ibu2 yang lain yang anaknya sehat. Sabar ya mbak, di sini kita ikhtiar" yang lain menasehati.

Hati ini mendadak seperti dibangunkan benteng kokoh dan diam2 berbisik dalam hati, "Ya, saya harus kuat demi Mashka yang sedang berjuang".

Yach, meskipun kami tau, apapun bisa terjadi di ruangan itu. APAPUN. Keajaiban atau kehilangan. Semua menyadari itu. Tapi demi hormon oksitosin yang merangsang air susu kami keluar, kami harus bahagia. Demi buah hati kami yang meski menderita tapi terus berjuang untuk bersua dengan kami para orang tuanya.

Saat kami harus berhadapan dengan mereka, ibu2 yang baru saja kehilangan buah hatinya, kami tau dan sadar bahwa bukan tak mungkin kami pun akan berada pada posisinya. Kemudian kami akan saling mendoakan. Begitupun denganku, saat ternyata aku harus berada pada posisi itu. Sepenuh hati akupun berdoa agar mereka yang masih tegar menunggui anaknya tetap diberi kekuatan, kesabaran dan yang terbaik. Kala itupun mereka akan bergantian memeluk, bahkan beberapa sampai menyusul di ruang jenazah untuk mengantar Mashka dan menguatkanku seperti saat aku pertama kali di sana. 

Pembicaraan kematian bukan hal yang baru. Kami tau, kami harus berdamai dengan cobaan ini. Oksigen, ventilator, selang irigasi, selang residu, bukan lagi jadi pembicaraan yang asing, apalagi infus. Terimakasih Allah, pernah mempertemukanku dengan mereka. Dari merekalah aku belajar untuk tetap tegar. Allah melatihku, sebelum aku harus berpisah dengan jagoanku. Dia Yang Maha Mengetahui pasti telah memperhitungkan segalanya. SEMUANYA, tanpa cela. Mungkin jika aku tidak diperkenalkan dengan ibu2 ini, aku tak kuat menjalani ini semua. Betapa Dia telah mengatur semuanya begitu detil.

Kemarin (dengan mengerahkan segala kekuatan hati), aku dan suami pergi ke RS dimana Mashka dirawat. Niat awalnya jenguk salah seorang guruku yang dirawat karena stroke. Namun setelahnya, kita memutuskan untuk bersilaturahim kepada orang-tua2 temen Mashka. Begitu sampai di lantai yang dituju, terlihatlah tikar2 karet/ plastik sudah digelar. Ya, sudah bada magrib, emperan ruang tunggu sudah disulap jadi tempat tidur para orang tua yang menunggui buah hati mereka. Tidak seramai saat aku masih di sana. Dalam hati aku bersyukur, semoga yang tidak lagi aku temui adalah mereka yang sudah bisa kembali ke rumah dengan sukacita.

Ada mbak Yulie, kenalan pertamaku di sana. Kami bersahabat layaknya anak kami yang memiliki nasib serupa. Hanya saja Mashka bertahan selama satu minggu, dan Gendhuk (panggilan utk anak mba Yulie) terus berjuang selama hampir dua bulan. Ibu yang luar biasa sabar ini menceritakan perkembangan anaknya. Masuk ke ruang isolasi karena adanya kuman baru, saturasi udara yang naik turun sampai biru, dan tentang dokter yang ketus dan tidak peduli. Dan apakah sahabatku ini menceritakannya dengan menangis? TIDAK! Bahkan dia tersenyum, juga suaminya. Meski aku dan suami tau betul, sisa kepanikan dan kelelahan tergambar jelas di wajah mereka.

Ingatanku tiba2 menangkap Mashka ketika biru. Sambil berusaha tetap tenang berusaha memancing refleknya. Ya, menahan kepanikan ketika anak kita mungkin telah ditunggu sang Izroil, itulah tugas kami. Dan hal itu juga yang mbak Yulie dan ibu lain lakukan demi terus kuat berada di samping buah hati tercintanya.

Cerita lainnya mengalir. Beberapa kasus prematur sudah pulang. Beberapa yang sudah menjalani operasi juga sudah pulang, walaupun ada operasi lanjutan ketika sang bayi sudah memiliki berat cukup. Beberapa ada yang menyusul Mashka. Ada yang sudah pulang, namun ketika kontrol harus masuk lagi karena kondisi yang masih butuh perawatan. Bahkan ada yang pulang paksa. Prosedur ini digunakan untuk keluarga yang sudah 'menolak' tindakan medis lanjutan dan membawa pasien pulang. Tak henti2nya saya menyebut Allah dalam hati.

"Jangan nangis, din. Kamu di sini untuk menguatkan, bukan menangis dan kembali meratap", tak henti2nya ucapan itu terlontar dalam hati.

Pelukan dan genggaman erat sambil diam2 berdoa saya berikan  pada mba Yulie dan mba reni yang kebetulan cuma mereka yang sempat saya temui. Yang lain, mungkin masih menunggu di dalam. Sepenuh hati saya berdoa semoga Allah berikan yang terbaik bagi sang buah hati dan orang tua mereka yang begitu sabar.

Allah menguji kita sesuai pada kadarnya. Dan ketika ujian itu mampu dilalui, itu berarti kita telah melompati satu tangga menuju tingkatan atasanya. La Tahzan...karena Allah bersama saya dan siapapun anda yang sedang menghadapi ujianNya. Dia hanya sedang mengungkapkan betapa cinta dan perhatianNya begitu besar pada kita. Maha Mengetahui Allah yang mengetahui kekuatan kita untuk menghadapi ujianNya. La Tahzan...

Dan Allah Maha Menepati Janji, maka ketika saya kembali merindukan Mashka, inilah yang saya ucapkan, doa yang sama ketika Ummu Salamah kehilangan Abu Salamah di medan jihad dan Allah mengganti Rasulullah menjadi suaminya.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”,



Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Semoga saya, dan anda bisa mengambil hikmah dari apa yang menimpa orang2 di sekitar kita.

Minggu, Agustus 25, 2013

AIR MATA INI, UNTUK SIAPA?



Ku bertanya pada diri
Saat buah hati yang dicinta
berpulang padaNya:
Air mataku yg tumpah itu
Untuk siapa sebenarnya?
Untuk dia yang pulang?
Atau untuk diriku yang ditinggalkan?
Masgul kujawab jujur:
untuk diriku
rasa rinduku
kehilanganku

(dan begitulah kurasa
Orang2 menangis saat ada yang meninggal,
bukan menangisi si mayit,
tapi menangisi dirinya sendiri, sambil bertanya:
Siapa lagi yang akan menemaniku?
Bagaimana kalau aku rindu denganmu?
Siapa yang akan mengajakku tertawa lagi?
Dst, dst)

Lalu, saat ksatria mungilku itu
kini berpulang
dengan tidur panjang yang sangat nyaman
dalam belaian dan dekapNya
Pantaskah masih ada air mata?
Mungkin, pantas
Air mata untuk menangisi diri (lagi)
tentang nasib diri yang belum pasti
akan seperti apa nanti
saat maut menghampiri

Wahai ksatria kecilku.
dari jauh tempatmu di situ
Doakan ummi ya naaak
agar dapat berpulang dengan nyaman
seperti pulangmu
dan memelukmu penuh rindu
suatu hari nanti….

#####--#####

Lagi-lagi bunda Mukti mengingatkanku dengan tulisannya. Kali ini cukup membuatku speechless dan lemes. Ya, selama ini siapa yang aku tangisi jika bukan aku sendiri? Menangisi rasa rindu yang aku rasakan sendiri. Padahal bukankah pada hakekatnya setiap detik yang kita lalui justru mendekatkan pada kesempatan untuk bertemu pada mereka lagi yang telah dipanggil?
Aku mulai bangkit kembali dengan tulisan ini. Mencoba mengorek2 hikmah yang ada atas semua kejadian ini. Memompa motivasi yang sempat kempes. Dan dia yang Maha Memberi Petunjuk membuatku yang secara tidak sengaja mendapati tulisan tentang penyakit yang sempat diderita Mashka. Dia mengalami satu dari 5000 kejadian kelahiran berdasarkan sebuah tulisan ilmiah yang sempat kubaca. Tanpa komplikasi apapun selama kehamilan. Bahkan belum bisa terdeteksi dengan alat secanggih apapun selama kehamilan. Sempat ada pertanyaan ratapan: "Kenapa anakku?", yang kemudian kuikuti dengan berulangkali istighfar. Memohon ampun karena sejenak menggugat putusanNya.

Aku kembali menekuri, mencari-cari hikmah. "Bukankah ini adalah pilihanNya? Mashka, dan kami, dan seluruh keluarga kami, dipilihNya, dari 5000 bayi lahir di 5000 keluarga lainnya. Ya, karna ajal tak bisa dimundurkan atau dimajukan. Jadi bukankah ajal tak perlu dipertanyakan? Bahkan bukankah panglima Khalid bin Walid yang gagah berani justru meninggal di atas tempat tidurnya sendiri? Cukup keyakinan bahwa inilah waktunya untuk berpulang dan mensyukuri karna Sang Pemilik pernah meminjamkannya sejenak.

Mashka adalah bentuk kasih sayangNya padaku, suamiku dan kluargaku. Banyak pesan yang tertambat saat kehadiran, terlebih ketika kepulangannya. Ya, inilah bukti cintaNya. Bukti cinta Sang Pencipta kepada hambaNya.
"Lalu apalagi yang kucemaskan?", perntanyaan itu kuajukan sendiri pada diriku. "Apalagi yang kau tangisi, Din?". CintaNya karna menjemput putramu yang masih suci untuk menikmati surgaNya kembali? CintaNya karna masih mengingatkan betapa ujian adalah bentuk perhatianNya kepada kalian yang ditinggalkan? Atau cintaNya yang memilih kalian untuk menerima diskon surga dengan jalan kesabaran? 

Kali ini aku menangis, tapi bukan lagi kesedihan, bukan lagi ratapan, tapi rasa malu. Rasa malu atas dosa2 tergambar kala sujud. Dan tangisan syukur karna dengan dosa2 yang begitu banyaknya Dia masih memberi segala ampunan dan kemurahanNya menjadikan kami terpilih menerima ujian menuju tingkatan iman selanjutnya. Tuntun kami ya Allah...Bimbing kami ya Allah...hingga kami layak berkumpul kembali di tempat terpuji.



Dalam rindu penuh syukur 25.8.13

Inspirasi: rumah kain kasa bunda

Jumat, Agustus 23, 2013

Selamat Pagi, Le...

Selamat pagi, cah bagus...
Tanggal yang sama sebulan lalu...
Allah tunjukkan sebuah keajaiban penciptaan makhluknya...
Ya, sebulan lalu kamu lahir, sayang...
Di kala matahari masih malu...
Saat daun2 berucap syukur atas terciptanya embun..
Selamat pagi, wahai prajurit syurga..
Hanya ini yang mampu umi dan abi persembahkan...
Sujud panjang pd Sang Pemilik Segala..
Memohon jubah jubah terbaik utkmu...
Meminta air susu ternikmat yg mengalir di surgaNya..
Memohon kehangatan kasihNya untukmu...

Ahh, Le...
Sbenarnya umi pun paham
bahwa tak perlu memohon padaNya begitu...
Apapun yang kau butuhkan pasti ada
Apapun yang kau minta pasti dikabulkanNya,bukan?
Ya, karna Dia Yang Maha Menjaga terus menjagamu di surgaNya...
Dan bukankah sebaik2 tempat kembali adalah surga?

Dia pasti maklum,
karna hanya ini yang mampu kuberi untukmu, anakku yg sholeh..
Seuntai doa, rangkaian dzikir...
Berharap air mata yg mengalir bersamanya menjelma embun penyegarmu...
Mashka, prajurit surga umi dan abi...
Nyenyakkan tidur panjangmu, sayang...
Bermainlah di taman surga yg indah...
Peluk cium rindu dari umi dan abi...
Jumat pagi.23.8.13

Kamis, Agustus 22, 2013

Semburat Kasih Ibu pada Purnama

Kupandangi bulan malam ini..
Indah...namun mengabur seiring rasa rindu yg semakin membuncah...
Saraf otakku mengirim sinyal ingatan...
Pada posisi bulan yang sama, diputaran yang lalu..
Aku bertahan dengan apa yg orang sebut gelombang rahim..
Aku berjuang menahan sakitnya...
Kau berjuang menemui kami...

Semburat bayangan bulan..
Tergambar seorang ibu menggendong anaknya...
Semburat bayangan yang ada ketika aku dan kau berjuang di medan syahid...
Sungguh kala itu aku rela melepas nafas untuknya...
Hingga fajar tiba dan menuai keajaiban kehadiran prajurit surga...

Ah,sayang...
maafkan jika malam ini umi masih menggugu merindumu...
Lihat, alangkah indahnya bila ibu dan anak di bulan itu adalah kita...
Yang mengisi kesunyian malam dengan kehangatan pelukan...
dengan kesunyian hati yg melantunkan lagu kasih...
Sungguh umi sangat merindukanmu,duhai prajurit syurgaku...
Di sini sepi tanpamu,sayang...
Tidurlah di pangkuan umi sejenak lewat mimpi...
Umi akan minta ijin kepada Pemilikmu...
Seperti malam2 sebelumnya, setelah doa tidur, ayat kursy, dan alfatihah...

Ya Rabbi...
Berilah kesempatan pada ibu ini rasa bahagia bertemu sang buah hati ..
walaupun hanya di  alam mimpi...
Allah...iman ini masihlah dangkal...
tapi ijinkan Ya Rabbi...Dzat Yang menguasai seluruh hati...
Yang Memegang seluruh jiwa...
Obatilah jiwa yg merindu ini lewat mimpi...
Seperti kuasanya Engkau menggambarkan kasih ibu dan anaknya pada semburat di purnama...
Maka gambarkanlah kasih kami lewat mimpi malam ini...

Sepi. 22.8.13

Puisi Penghibur Duka

kemari anakku,
kita berbincang tentang langit malam
disana..nun di balik pekat cakarawala...
do'a-do'a setiap kita tertambatkan
merapat bersama tasbih bintang-bintang
milikmu, adakah disana?

tentu anakku
engkau mesti menjaga-Nya
hingga Ia yang Maha penyayang
berkenan melindungimu
bukankah Ia memberi jika engkau meminta?
maka berdo'a lah,sematkan ia di sana
di sisi takbir mahluk-mahluk langit

tak ada yang bisa kuwariskan anakku sayang
hanya bisa aku kabarkan
sabda suci dari sang Nabi
tentang keagungan Tuhan nya
Rabb kita....
Tuhanku juga Tuhanmu

Kemuliaan Nya disana nak,
Bersemayam di atas Arsy yang maha suci
dan demi umurku!
Ia sedekat ini
serapat buluh-buluh nadi
maka masihkah engkau merasa sepi?

hanya ini anakku
ini saja yang aku punya....
*hiawata*

 ----- 888 -----

Bermimpilah yang indah, anakku
saat kucium keningmu dengan mata basah
disini ada ayah dan ibu yang selalu mengirim doa untukmu nak
Airmata kami insya Allah
akan menjelma seumpama titian pelangi
membawamu kesana, ke haribaanNya
yang kekal
bersama doa-doa yang kami lantunkan
setiap saat, setiap kali,

Bermimpilah yang indah, anakku
Kamu tak akan sendiri
Kami selalu hadir untukmu, disampingmu
menyenandungkan tembang-tembang syahdu
Kami selalu ada bagimu
bersama lirih dzikir dan takbir penuh tawadhu’

Bermimpilah yang indah,anakku
dalam lelap tidur panjang, kasih ayah ibu menemanimu.


Sumber : rumah kain kasa bunda


Melerai Duka, Melarung Lara

Ijinkanlah aku untuk menulis.

Bukan untuk menggugat keputusanNya, tetapi untuk melerai duka, melarung lara.

Semoga dengan menulis ini tidak mengurangi nilai kesabaran dan keikhlasan, karena aku tetap ingin digolongkan orang2 yang sabar dan ikhlas saat ditiimpa musibah.


Secuil kalimat pembuka bunda Mukti, yang kemarin sempat saya cantumkan puisi dari blognya. Dan mungkin akan saya copy juga beberapa posting penghibur lainnya.

Ya, biarkan aku juga menulis untuk melerai duka, melarung lara.

Ketika seperti pagi ini, juga pagi2 sebelumnya aku harus terbangun dengan kenyataan yang harus kuhadapi, tanpa Mashka di sampingku, tanpa Mashka di rahimku...
Ketika siang menjemput, dan tak ada kesibukan mengganti popok, menyusui, atau menimangnya sampai terlelap...
Ketika bayangan akan harapan yang telah sembilan bulan lebih begitu saja hancur, membuat satu lobang menganga di sudut hati...

Sungguh hatiku belum sepenuhnya mampu. Menerima kenyataan ini. Hati ini kadang masih gamang ketika ternyata kini harus berdiri di tempat yang sama, tanpa dia. Astagfirullah...ampuni hamba Ya Robb. Semoga ini bukan bentuk ketidakikhlasan atau gugatan pada KuasaMu. Karena sisi kemanusiawian semata.

Ya Rahim...betapa aku begitu lemah pada perasaan yang terkadang mendengar bisikan godaan2. Sesungguhnya aku hanya berlindung kepadaMu atas bisikan itu. Bukakan mata dengan pertolonganMu, Ya Allah... Karna sesungguhnya pertolonganmu begitu dekat, sedekat urat2 nadi di tubuh ini.

Jika ajal sudah terukir di lauhul mahfudz sana, sungguh maha besar Allah yang mengilhamkanku untuk bersamamu 42 minggu ditambah 10 hari penuh menjelang pergimu, bahkan hingga detik2 terakhirmu. Menggendongmu kemanapun, kapanpun. Dan ketika di rumah sakit, hanya aku yang bisa berada di sampingmu, menjagamu. Bagaimana jika tidak, pastilah aku menyesal tak selalu ada untukmu, sayang.

Jika ajal sudah ditetapkan untukmu tanpa bisa ditangguhkan atau dimajukan, Sungguh Allah Maha besar yang telah membuat skenario agar berpulang setelah abi bisa bertemu denganmu saat berjuang memompa detak jantungmu, hingga Dia memanggilMu, tepat di hari Jumat, di bulan Ramadhan. Dimana beberapa kali abimu sering membisikkan untuk mengajakmu sholat Jumat saat masih di rahim umi.  Dimana saat hari Jumatlah kamu banyak mendengar alunan murotal, bahkan kadang sepanjang hari, ya, saat masih di rahim umi. Itu hari favoritmu, Nak... Hari favorit Allah, untuk lebih banyak menebar rizki, untuk memanggil kekasih2Nya untuk diundang di syurgaNya, seperti saat Dia memanggilmu.

Jika ajal tak mengenal usia, sungguh Maha sayang Allah yang mentaqdirkanmu masih memiliki sepuluh hari bersamaku. Bahkan di menit-menit terakhir, kau yang sudah kehilangan kesadaran masih menunjukkan degub jantung yang kuat hingga tak lama kemudian, kami yang menalqilkanmu, di antara sedu sedanku.


Dan kemudian aku menekuri diri, bukankah semua telah diatur begitu rapi olehNya. Bukankah Dia Yang Maha Segala begitu mencintai Mashka, hingga mengganti rasa sakit dengan kenyamanan dan keindahan abadi. Bukankah Dia Yang Maha Sayang juga mencintai kami dengan meperhatikan kami lewat ujianNya. Oh, Rabbi...
Dia yang pernah datang, tak pernah benar2 pergi. Justru smakin dekat, karena ia ada dalam kenangan yg selalu kubawa, kemana pun ku pergi
*ajarkan aku utk IKHLAS
Dan pagi ini saya kembali membuka blog bunda Mukti, membaca kalimat2 penghibur lara, penyampai kabar gembira akan janjiNya kepada ibu manapun yang kehilangan putra putri terkasihnya.

"aku tahu mbak rasa kehilangan ....berdamailah dengan rasa itu...serahkan pada yang Sang Maha Empunya...biarkan isak itu tumpah seperti kekasihNya menggugu dikala Ibrahim sang permata hati diminta Sang Pemilik..biar rasa itu mengkhaliskan seluruh rasa...biarkan rasa itu menuntun pada asa sakinah istana indah di sisiNya. amiin"

Ya, bahkan Rasulullah SAW menangis menggugu di kala Ibrahim sang putra kembali ke Pemiliknya kala usia sang putra masih begitu belia, begitu pula Yaqub As yang dirudung kesedihan tatkala kehilangan Yusuf As, meskipun kemudian mereka dipertemukan kembali. 


Mbak, Akan tiba suatu masa, ketika kau menyadari bahwa riak bening di telaga Kautsar adalah muara air mata kesabaranmu di dunia, langit yang menopang keberadaanmu di sisi-Nya adalah rajutan ketegaranmu, dan sinar yang memancar dari setiap sudut istana abadimu adalah senyum keikhlasanmu.

Karena itu, bertahanlah. Jangan biarkan sungai ujian ini menghanyutkanmu, bahkan merenggut akarmu yang tersisa. Sampaikan rindu untuknya, lihatlah ia akan memelukmu dan membisikkan ke hatimu, “semuanya akan baik-baik saja ibu... ayah…”


Semua yang hidup pada akhirnya akan mati. Tapi tak pernah aku bayangkan sesakit ini rasanya saat Dia mengambil buah hatiku. Jika saja rasa ini benda, ingin sekali rasanya memasukannya dalam peti dan menguncinya rapat2, membuangnya di sudut tak terlihat. Tapi rasa ini hampa, tak kasat mata. Yang mampu aku lakukan adalah mencoba berdamai dengannya. Membiarkannya pelahan terkikis waktu. Karena seperti kata orang, waktu adalah obat terbaik. Time is the best medicine. Obat duka terbaik.

Wahai jiwa yang berduka,
yang berjalan menunduk
dan nafas beratnya bertanya,
mengapakah goresan tinta takdir ini
tak berlaku ramah?

Sungguh kesedihanmu
tengah menyiapkan rongga besar di hatimu,
sebagai penampung kebesaran jiwamu
nanti...


Terimakasih, Nak...
Terimakasih telah mengajarkan umi begitu banyak pelajaran berharga....
Tenanglah dalam tidurmu, jangan terganggu pada tangisan pilu umi dan abimu...
Karna kami hanya merindumu, merindu berkumpul denganmu kelak...
karna kami menangisi ketakutan amal kami yang masih kurang untuk menyusulmu...
Tunggu kami, Nak... Tunggu kami di peraduan indah jannahNya...

Dan begitulah, menulislah yang kadang mampu melerai duka melarung lara yang masih menggaruk menciptakan rongga di hati.

Ijinkan aku menuliskan doaku pagi ini,
semoga Allah kuatkan dan besarkan jiwa kami, juga semua orang tua yang Dia ambil putra putrinya...
Semoga Allah satukan kami, juga semua orang tua dengan anak-anak syurgaNya...
Semoga Allah berikan berlipat pahala pada kebesaran jiwa yang kami dan orang tua lainnya perjuangkan tatkala harus menghadapi duka yang meyayat kalbu karna kerinduan kami pada putra putri terkasih yang telah berpulang kepadaNya...
Semoga janji nikmat itu segera terkecap bagi siapapun yang dilanda kesempitan, kesedihan, dan ujian lain dariNya...
Semoga bulir2 kesabaran yang terpupuk menghapus setiap dosa dan menghadirkan nikmat iman dan pahala bagi setiap pejuang kesabaran di bumi ini...
 Mesir, Suriah, Palestine, Rohingnya, di manapun semoga Allah limpahkan kekuatanNya untuk mereka yang tertindas dan teraniaya...
Aamiin..aamiin Ya Rabbi..

220813
Ketika pagi terasa masih gamang dan sepi
Beberapa catatan dari rumah kain kasa bunda

Rabu, Agustus 21, 2013

Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif

Sebuah puisi yang dari blog seorang ibu sabar yang saya temui di dunia maya beberapa saat lalu. Seorang ibu yang beberapa tahun lalu juga kehilangan putri tercintanya.
Membacanya, seolah puisi ini juga dipersembahkan untuk saya. Sebuah puisi yang semoga makin mengingatkan saya bahwa tak ada yang benar2 kita miliki, sehingga tak pantas merasa terlalu kehilangan...




Ya Allah,
Alam semesta raya ini adalah milik-Mu
Segala isinya adalah milik-Mu
Engkau yang menciptakannya,
Engkau Pemiliknya
Engkau Yang Maha kuasa atas semuanya

Termasuk orang-orang yang kucintai
Bahkan diriku,
raga dan jiwaku
rohku...
ada dalam Genggaman-Mu,
dalam Kekuasaan-Mu

Ya Allah,
Syukur dan terimakasih,
Engkau telah menitipkan milik-Mu
kepada kami
Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif

Engkau Maha mengetahui
betapa kami sangat menyayanginya
Tetapi ia milik-Mu
dan Engkau Yang Maha berhak mengambilnya,
memintanya kembali...

Ya Allah,
rasanya sangat sebentar kami bersama-sama
Tetapi banyak kenangan manis di antara kami
Suka dan duka
Bahagia dan kendala
telah kami lalui saat raganya masih di rahim maupun ketika sudah lahir

Kami telah ikhlas, Ya Allah
Karena kami mengetahui
ia sekarang merasa lebih nyaman
berada di sisi-Mu
Tidak ada lagi rasa sakit
yang mendera tubuh mungilnya

Ia sekarang leluasa bermain
di taman syorga-Mu
Sambil tak henti-hentinya bertasbih
mengagungkan Nama-Mu

Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif
memang milik-Mu
tetapi ia telah Engkau takdirkan menjadi anak kami
Tolong ya Allah,
Berilah kekuatan kepada kami untuk menjalani perpisahan ini

Kami tahu...
Ia pun rindu kami,
Abi Ummi..
dan Kakung Utinya..
Kelak apabila kami menyusul dia,
kembali kepada-Mu
Ia akan menunggu dan menyambut kami
di taman syorga-Mu......
Dengan tawanya yang renyah
dan mata yang indah

Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif
akan memeluk kami satu-persatu,
penuh rindu

Allahhumma,
Jurni fii mushibati
Khairum minha
Amiin Ya Rabbal 'alamiin


Sumber: rumah kain kasa bunda
dengan beberapa gubahan

Senin, Agustus 19, 2013

Mashka, Prajurit Syurgaku…


Habibie sempat mengalami depresi ketika Ainun, kekasih hatinya berpulang ke Rahmatullah. Dengan menulis beliau mulai berangsur membaik dan mulai mengikhlaskan segalanya.

Saya bukan negarawan, hanya seorang ibu yang baru saja kehilangan puteranya yang memiliki kegemaran sama, yaitu menulis. Tak dipungkiri, sampai saat saya menulis kalimat ini, hati saya masih terasa sangat pedih dengan meninggalnya putra tercinta saya. Buah hati yang telah ditunggu selama lebih dari tiga tahun usia perkawinan. Ibu manapun akan merasa kehilangan semangat hidup ketika putranya diambil oleh Yang Maha Memiliki dengan begitu cepat. Tapi, saya tahu, saya masih memiliki orang tua yang harus saya rawat, dan suami yang masih harus saya kasihi. Dengan menangis dan meratap tidak akan pernah membuat putra saya kembali ke sisi saya, justru mungkin membuatnya sedih di syurga. Saya harus kuat. Saya harus kuat. Saya harus kuat.

Maka, saya akan mencoba menulis perjalanan 10 hari putra saya yang berjuang dengan begitu hebat dan kuat demi kehidupannya. Meski kemudian Allah lebih menyayanginya, saya dan abinya begitu bangga dengan kekuatannya dan kesabarannya. 

MUHAMMAD MASHKA RAYSHIVA TSAQIF

Mashka berarti sabar. Rayshiva berarti pelindung. Tsaqif berarti cerdas. Nama itu kami berikan padanya sejak beberapa bulan kehamilan saya. Abinya memberinya nama Mashka yang berarti sabar karena dia adalah buah hati hasil kesabaran kami yang telah menunggunya hampir 3 tahun pernikahan. Rayshiva dan Tsaqif ditambahkan ketika umur kehamilan saya sudah 8 bulan. Rayshiva berarti pelindung, karna dia anak pertama kami, berharap dia kelak mampu menjadi pelindung dan manfaat bagi keluarga dan adik2nya. Tsaqif berarti cerdas, ini karena saya pengen ada bahasa arab di namanya. Dan abinya memberi Tsaqif dibelakang namanya dan berharap kelak ia tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan beriman.

Kakak, kami selalu memanggilnya demikian. Karena dia anak pertama kami, dan berharap dia akan memiliki beberapa adik kelak, aamiin. Kak Mashka adalah sosok yang kami tunggu selama hampir 3 tahun pernikahan kami. Ya, dengan berbagai usaha yang kami lakukan. Baik medis maupun alternatif. Buah hati yang selalu kami pinta di setiap sujud dan doa seperti yang Nabi Zakaria lantunkan ketika memohon keturunan. Selengkapnya bisa dibaca di “To be Mom story 1” dan “To beMom Story 2”. Ketika mengetahui saya hamil, semuanya berbahagia. Bahkan abinya langsung pulang dari kantor hanya untuk memeluk saya dan mencium perut saya. Ya, karna kehamilan ini benar2 seperti keajaiban bagi kami. 

Begitu menyadari telah hamil, saya tutup kegiatan bekerja saya, saya ganti dengan kesibukan mempersiapkan diri menjadi seorang ibu. Dari trisemester demi trisemester.  Bahkan saya sharing di blog juga. Coba cek perjalanan trisemester demi trisemester di posting2 sebelumnya I, II, III (1), III (2). Saya menyadari bahwa saya susah mengingat, dan tentu saja, posting2 itu adalah kebahagian yang selalu ingin saya ingat, maka saya menorehkannya pada sebuah tulisan, seperti kebiasaan sebelumnya. Saya begitu semangat menyambut si kakak dalam rahim saya. Kami telah siapkan kamar baru yang dicat oleh abinya sendiri, ditempel beberapa wallsticker lucu. Saya buat mainan untuknya dengan tangan saya sendiri. Saya hias dinding dengan wallart yang saya buat sendiri (read here). Saya bayangkan Ramadhan yang begitu indah dengan suara tangisnya,saya bayangkan lebaran yang begitu seru dengan kehadirannya. Tapi manusia hanya mampu berencana, Allahlah yang Maha Menentukan  dan Menetapkan. “Allah…”

Hari perkiraan lahir mashka 11 Juli 2013. Dan ketika itu, saya sama sekali tidak merasakan kontraksi. Saya tetap menikmati gerakannya. 17 Juli 2013, saya masih belum merasakan apapun. Bukaan 1, tapi saya belum merasakan gerakannya yang ingin keluar dari Rahim. Jantungnya juga masih stabil. Saya sempat galau ketika kakak ipar saya malah sudah melahirkan di umur kehamilan 37 minggu. Namun saya tetap positif thingking dan diam2 menulis surat untuk anak saya yang masih saya simpan dalam file note di laptop ini.

Selamat hari minggu ke 41, anakku sayang, mashka...
Sudah 41 minggu lho kamu ada di rahim ummi. Dan sepertinya kamu masih betah ya, karna ummi belum merasakan tanda2 persalinan yang berarti. Semuanya sudah bertanya2 tentang kelahiranmu lho, nak. Kakung uti di madura dan kulon progo tiap hari uda telpon ummi dan abi. Kayanya mereka uda pada kangen mo gendong mashka yaaak... ^^
Sayang, rasanya pasti enak berada di rahim ummi ya,nak. Nyaman, tenang, dan hangat. Ga heran deh ummi kalo kamu betah banget berenang sampai lebih dari 40 menurut perkiraan dokter. Asal kamu sehat, asal detak jantung kamu minimal masih 120/menit, asal gerakan kamu minimal masih 10x setiap 12jam,ummi akan terus jaga kamu di dalam, nak... ^^
Mungkin memang ummi dan abi mulai dilatih sabarnya lewat kamu ya, nak... Seperti dulu ketika kami mendambamu, lebih dari 2 tahun kesabaran kami diuji. Maka, kini kami juga tak mau begitu saja menyerah. Kapanpun itu Allah kehendaki kamu keluar dari rahim ummi, kami akan usahakan sepositif mungkin untukmu. Ummi akan merasa bersalah jika harus menginduksimu dengan jalan pintas. Sampai saat ini ummi masih yakin Allah yang Maha Sempurna telah menyiapkan proses persalinan dengan indah dan lembut untukmu. Dan seberapapun besarnya rasa sakit yang harus ummi rasakan, ummi ikhlas, nak...
Muhammad Mashka Rayshiva Tsaqif... Abi sudah menyiapkan nama indah untukmu, anakku...Nama yang juga doa dan harapan untukmu, agar kelak kau menjadi pelindung yang sabar, toleran, dan cerdas seperti Rasulullah. Ah, pasti kamu kelak jadi anak sholeh yang membanggakan ummi dan abi ya, sayang...aamiin..
Sayang, kamu tau, bulan kelahiran kamu ini bulan istimewa lho. Bulan yang paling ditunggu umat Islam, bulan dimana ibadah dilipatkan, dosa2 diampuni dan bulan dimana malaikat2 Allah sibuk menebar rizki. Ummi benar2 bahagia bisa bertemu bulan ini lagi, terlebih lagi tahun ini, karna ummi akan bertemu denganmu, jagoan ummi yang sejak lama ummi rindukan.
Mashkaku sayang...
Makin sehat ya, nak...makin cerdas kamu di rahim ummi..Sebentar lagi kamu lahir, nak. Ummi dan abi akan berikan tempat yang sama nyamannya dengan rahim...ummi dan abi juga akan menjadi teman sehangat plasenta yang selama 9 bulan ini menemanimu.
Lots of love for my lil'star in the womb...

 22 Juli 2013, saya dan suami pergi ke pantai. Menikmati sejam dua jam berjalan di atas pasir dan ngobrol dengan kakak. Kami bilang padanya bahwa di luar sini ada air yang begitu indah juga. “Coba dengar suaranya, sayang…Hampir sama kan kaya di dalem situ. Tapi kalo di sini kakak bisa digendong abi juga. Kita bisa ajak uti dan kakung juga. Rame deh, ga cuma sama plasenta dan digendong umi terus. Yuk kluar yuk sayang…ketemu abi dan umi di luar yuk.”
Benar saja, pukul 3 pagi hari berikutnya, setelah diinduksi alami oleh abinya, kakak mulai bereaksi. Saat itu juga setelah sahur, kami berangkat ke klinik di klaten. Saya merasakan kontraksi 5 menit sekali. Rasanya luar biasa…Subhanallah…indah sekali. Bahagia sekali rasanya. Terlebih saat itu udara masih sangat sejuk dan alunan azan subuh terdengar dimana2. Sampai klinik ternyata masih buka 2. Ups, kirain sudah buka 9 aja. Nah, setelah itu, kisah ajaib kelahiran Mashka pun bergulir. Coba baca postingan dari bidan kami. 

Ya, Mashka saya lahir dengan penuh keajaiban di dalamnya. Tak pernah kami duga sedikitpun bahwa ia akan terlahir dengan tali pusat yang pendek, yaitu 36cm. Ini yang kemudian baru saya pelajari dapat membuat fetal distress atau gawat janin dan menyebabkan ketidakberfungsian beberapa syaraf pusat bahkan kematian. Siapa yang menduga? Selama hamil yang saya komunikasikan dengannya adalah lilitan tali pusat. Ya, karna inilah yang sering menjadi kasus dalam kelahiran normal. Tapi ternyata Allah yang Maha Berkehendak menciptakan tali pusat yang pendek. Tapi saya dan abinya begitu bangga dengannya. Meski diciptakan dengan tali pusat yang pendek, ia mampu berjuang melewati jalan lahir. Meski hampir 7 jam saya berjibaku dengan kontraksi dan terus2an ‘ngeden’, Mashka juga terus berjuang untuk keluar. Begitu keluarpun, kami sempat panic, Mashka tidak bernafas, tubuhnya membiru. Bidan mengambil tindakan, saya dan abinya terus berdzikir tiada henti. Subhanallah, setelah itu nafasnya kembali. Anak saya begitu kuat.
Sehari setelah kelahirannya, adalah hari terindah bagi saya. Tidur di sampingnya, mencoba menyusukan asi, meski belum banyak keluar dan reflek menghisap Kakak belum muncul. Satu hari yang indah bersamanya. Suara tangisnya begitu membuat saya merinding. Saya seorang ibu sekarang. Terimakasih Allah.

Esok paginya, hari kedua, pukul tiga pagi, suhu badan Mashka 38derajad, setelah semalaman dia rewel. Karna bu bidan juga mo ke Jakarta dan Mashka belum BAB sejak kemaren, bu bidan menyarankan untuk dirujuk ke sebuah rumah sakit besar di Jogja (Baca: RSSjt). Terus terang, inilah yang menjadi penyesalan terbesar saya. Saat itu rasanya lemas. Begitu masuk UGD, Mashka langsung dimasukkan ke incubator dan tanpa kelembutan para dokter jaga memeriksanya. “Allah…Allah lindungi anakku”, tak henti2nya saya terus memohon dalam hati. Saya dan abinya blank, tidak tau harus berbuat apa. Saya lafadzkan beberapa ayat, seperti alfatihah, ayat kurasi, dan surat pendek untuk menghiburnya. Ya, sejak dalam kandungan saya biasakan diri mendengar murotal dan membaca beberapa surat favorit, saya yakin, Mashka mengenal mengenal ayat demi ayatnya. Dan ayat2 inilah yang sampai beberapa hari jadi penenangnya hingga Allah menjemputnya dalam ketenangan yang abadi. 

Cukup lama kami di UGD sampai akhirnya di bawa ke ruang intensif bayi, dimana abinya ga bisa ikut masuk. Sampai di ruang intensif, saya melihat banyak bayi dengan berbagai ‘selang’ di badan mereka. Allah,tulang saya seolah terlepas satu demi satu dari tubuh, saya semakin lemas. Saya dan abinya bahkan sempat menjadi tontonan orang2 sekitar, yang saya ketahui kemudian adalah para orang tua yang menunggui ananknya juga, karena terduduk lemas dan menangis di depan gerbang pintu ruang intensif. Tapi saya terus beristighfar, mencoba kuat demi Mashka.
Saya masih lemas dan terus menangis, terlebih ketika melihat anak saya mulai dipasang infus, dimasukkan selang dari mulutnya menuju lambung untuk menyedot residu, dan selang irigasi di anusnya. Ditambah lagi saya dilarang memberinya ASI agar residunya bisa segera bersih dan ditindaklanjuti. Saya lemas sekali… Ilmu yang saya miliki tidak sampai, dan (bodohnya) saya manut saja.

Tidak saya hiraukan kondisi fisik saya yang sejak saat itu selama seminggu harus berada di RS. Kaki bengkakpun saya abaikan. Kontrol jahitan pasca persalinan tidak pernah saya lakukan. Yang ada di pikiran saya adalah Mashka dan Mashka.
Begitu pula dengan abinya. Bolak balik RS, kantor dan rumah dalam keadaan puasa. Bahkan sering tidak sahur, atau sahur dengan minum air putih saja. Setiap pagi terpaksa mandi di kantor, siangnya masih membawakan makan siang buat saya, balik kantor terlambat, dan masih pulang ke rumah menyiapkan baju untuk saya dan dia sendiri untuk ke kantor esok harinya. Badannya mulai mengurus, tapi sungguh saya bersyukur karna Allah mengkaruniakan suami yang begitu sabar luar biasa. Terimakasih, sayang…
Saya sempat membuat catatan ketika di RSSjt itu. Ini beberapa catatan saya:

26 Juli 2013
Hari ini badan Mashka ditimbang 2,7kg. Tambah disbanding kemaren. Mungkin krn semalem sempet suntik gula diinfusnya.
Pagi ini setelah mandi Mashka sempat sesak nafas. Nafasnya berat, bahkan sepertinya jadi sulit nangis. Ada benjol kembung di tengah dada bawah, diantara diagfragma. Tetep kuat ya, sayangku…
Siang ini, akhirnya umi untuk pertama kali bersihin pup Mashka dr awal smpe akhir.
15.30
Pasang selang di pantat lagi setelah seharian engga. Phototherapy sampai besok +1jam. Setelah itu bisa deh gendong2 Mashka lagi    ̂  ̂
16.30
Mashka di cek gula sama dokter triwi, dokter anak. Kasar. Ya, 2x tusuk dengan pencetan kasar & menyisakan luka sehingg harus kubersihkan sendiri dengan kasa…

27 Juli 2013
Berada di dekat Mashka dari jam 4-8, sangat menyenangkan ketika sebelumnya ada phototherapy, skr bisa digendong2. Dan lagi, kini dia sepertinya lebih kuat. Terimakasih Allah.
14.00
Mashka ganti box. Tinggi, susah mo ngesun. Ah sayang, Mashka harus phototherapy lagi. Tapi kini berbeda, selang di mulutnya bukan lagi residu lambung, tapi semacam cairan serum, yang kuduga cairan gula. Pup Mashka masih ada lewat selang di anusnya. Kakinya masih kubedong, dingin, tapi suhu tubuhnya 36,6˚. Kulitnya terlihat keriput. Mungkin karna suhu panas-dingin yang berubah ubah dari alat fisio dan ruangan.
15.30
Aneh, seperti terus terngiang2 suara tangis Mashka, aku putuskan meihat kondisinya. Sempat deg2an krn dia diam saja, bahkan saat kugerakan tangannya, dia masih diam. Akhirnya kucoba ganti popoknya, gerakan dan suaranya seperti berat. Ingin sekali mencopot alat2 yang terpasang dan membawanya pulang!
Alhamdulillah, hari ini Mashka tes gula di sore hari, dan hasilnya111  !!! Subhanallah. AllahuAkbar. Spontal memeluk dokter dan meneteskan air mata (baca: bukan si triw*). Allah terimakasih.
23.35
Innalillahi wa innailaihi roji’un…malam mini ada2 kabar duka. 2 bayi pejuang gugur. Allah, semoga itu menjadi jalan syurga bagi orang tuanya. Aamiin. Setelah mengucap belasungkawa kpd orang tua sabar, aku temui Mashka. Membersihkan urine dan fesesnya. Mashka mulai luce deh, tiap kali pempers dicopot, pasti langsung kencing mancur lagi. Hihihi, ngerjain uminya. Badannya 36,4˚ dan kaki Alhamdulillah sdh hangat.
(Saya tidak pernah menduga akan mengalami apa yang dua orang ibu itu - mbak putri dan mbak sarjiah - rasakan, kehilangan buah hati terkasih )
28 Juli 2013
Pagi ini kangen banget sama Mashka. Begitu bangun langsung ajak Mashka ngaji sambil digendong. Siangnya, huft, males banget, ga ada kerjaan. Kangen sama Mashka. Tapi tiap kali ke sana diusir perawat. Kasian juga ga tega karna pempersnya agak dibuka dan kakinya dingin banget.
Ah, nak, umi bener2 ga tega melihatmu. Tapi umi inget2 lagi, semoga dg begitu bilirubin kamu turun. Kan nanti malam kita bisa kangen2an. Jam 20.00 selesai deh phototherapy. Umi harus kuat demi kamu!
Inget2 lagi… kemaren malem sempet ngintip catatan perawat, berat kamu 2,8kg lagi. Ah, senengnya umi…luv luv u, my Mashka…
30 Juli 2013
Lewat satu hari ga tercatat. Kemaren Mashka cukup aktif nangis dan rewel. Pas tidur malem, baru nyenyak kalo dipangku uminya. Ah, sayang, kalo saja umi bisa terus memelukmu…
Semalam gula darah Mashka masih rendah. Padahal sebelumnya uda ada laporan tes lab untuk siap hirsprung. Pagi ini Mashka juga ga mau bobok kalo ga sama umi. Jadi uminya selalu sama Mashka, sampai abinya ga sahur.
Yang bikin umi sedih hari ini, tadi dokter bilang kalo ‘foto’ g bisa langsung dilakukan gitu aja. Banyak prosedur. Nah, kalo difotonya aja belum pasti kapan, gimana pengobatannya?
11.00
Umi ngantuk banget sampai agak pusing. Tapi umi seneng. Mashka kliatan chubby lagi…
10 hari terakhir di bulan ramadhan. Kangen I’tikaf, kangen bersujud. Kali ini umi kangen banget agar bisa memohon sama Allah di sepertiga malam demi kesembuhan Mashka.
Allah…beri Mashka keajaiban, bukan sekedar kesembuhan, tapi keajaiban…

4 Agustus 2013
Tulisan ini menceritakan saat tanggal 2 Agustus 2013, pukul 03.00 yang saya tulis di tanggal empatnya, setelah menguatkan diri.
Umi dan abi dipanggil perawat, katanya Mashka kritis. Masyaallah…
Semalaman juga, kondisi Mashka memburuk. Padahal uda mo ASI. Sorenya tanggal 1 itu umi kebetulan pas keluar. Begitu masuk, Mashka uda mo dipindah NICU. Umi kaget. Padahal gelas ASIP Mashka uda di meja. Allah! Allah!
Umi bingung, kakak Mashka malah dipasang ventilator. Ya Robb, kakak sudah tak sadar!
Malam itu, ga tega umi nunggu kakak. Umi benar2 ga tega. Sampai jam 12 tepat tengah malam, kakak harus transfusi darah dan jam 3 pagi kritis.
Dari jam 3 itu umi dan abi mulai berganti nunggu kakak yang berjuang. (Abi diperbolehkan masuk karena kondisi Mashka yang sudah kritis).
Raga kakak tak bergerak, tapi jantung kakak terus berjuang.
“Umi dan abi benar2 bangga sama kakak…”
Kakak begitu kuat dan gentle kalo kata abi. Ya, kakak hebat!
Tapi umi dan abi sudah benar2 ikhlas. Ga tega rasanya terus melihatnya seperti itu. (Saat itu Mashka dipasang ventilator, bantuan pernafasan dengan memasukan selang oksigen langsung ke trakheanya, dipasang selang kecil yang menyedot residu di lambung, dan selang irigasi untuk mengeluarkan kotoran lewat anusnya). Jika Allah ijinkan kakak sehat, maka keajaiban itu masih ada walau 0,1 persen, tapi jika Allah ingin mengambil kakak, maka secepatnya, karana umi dan abi benar2 tidak tega…
Dua agustus pukul delapan kurang…
Karena umi dan abi harus keluar, karna tugas perawat yang mau memandikan, ya, kakak ga bisa ditunggu.
Sekitar sepuluh menit kemudian, perawat memanggil, dan kakak kritis lagi. Kali ini kami disuruh tunggu di luar NICU.
Ramadhan, hari Jumat, ah kakak sayang, Allah benar2 menyayangimu, nak.
Umi dan abi sayang kakak Mashka, tapi ternyata Allah-lah yang jauh menyayangimu. Engaku dipanggilnNya pagi itu…
Mashka bukan hanya sebuah arti nama ‘sabar’, tapi juga menjadi pelatihan kesabaran umi dan abinya. Rayshiva, pelindung orang tuanya, bukan hanya di dunia tapi juga di akherat. Menjadi tabungan umi dan abinya, Insya Allah…
Rindu sekali dengannya…namun yang bisa terlantun hanya doa dan istighfar. Umi sangat kangen sama kak Mashka, tapi umi harus kuat. Seperti kuatnya perjuangan kakak, seperti kesabaran kakak.
Umi masih menangis sampai sekarang, nak..tapi umi akan terus berusaha kuat, menata kembali kehidupan demi keluarga.
Umi tau, di sana kakak lebih bahagia, lebih sehat, dan jauh lebih seneng. Maafkan umi dan abi selama merawatmu di sini ya, sayang…
Terimakasih atas segala pelajaran yang kakak beri kepada kami. Sampaikan salam kami pada Allah yang sangat menyayangimu, sampaikan pula salam kami pada teman2 syurgamu dan calon adik2mu yang masih di syurga ya,nak…
Allah benar2 menyayangimu, Nak…


Butuh beberapa hari untuk menyalin kembali tulisan di buku itu. Ada kesesakan tersendiri ketika membacanya, seolah saya kembali melihat penderitaan anak saya dari hari ke hari. Dan ada penyesalan tersendiri ketika membaca kondisinya yang sedang membaik, kenapa saat itu saya tak membawanya ke rumah sakit lain yang dokternya lebih komunikatif dan tidak kasar, yang meskipun tak lebih besar, namun anak saya benar2 diperhatikan. Ah, penyesalan itu saya takutkan menjadi kesempatan syetan untuk membuat saya terlelap dalam duka dan mengingkari Dia Yang Maha Penentu Umur.

Sejak tulisan terakhir itu, kondisi makin memburuk. Kata dokter infeksinya sudah menyebar. Dokter memberi tahu karena saya yang mendesaknya. Meskipun dengan nada yang ketus, akhirnya saya tau. Nadinya sudah sulit ditemukan dan terpaksa dipasang infus di kepala. Ibu mana yang kuat melihat darah dikepala anaknya karena infus. Jika saya tidak ingat Mashka begitu kuat bertahan, mungkin saya sudah roboh saat itu. Kepindahannya ke ruang NICU terus membuat kondisinya melemah. 1 Agustus 2013, Mashka sudah dibilang tak lagi sadar. Tanganya bergerak sesuai nafasnya yang makin melemah. Tapi ketika malam hari, bahkan ia tak mampu menggerakkan jarinya. Hati saya benar2 terkoyak, optimisme untuk melihatnya sehat seperti terhempas dari pikiran. Rasanya saya tidak kuat lagi melihatnya terus menderita seperti itu.

Malam itu, saya dan abinya pasrah sepasrah2nya. Jika sebelumnya saya selalu memohon dalam hati agar anak saya diberi kesembuhan, kali ini berbeda. Kami mohonkan apapun yang terbaik bagi anak kami.  Jika Allah akan memberinya kesehatan, maka keajaiban pasti ada meski itu 0,1% saja kemungkinannya. Namun bila Allah berkehendak mengambilnya, saya berharap secepatnya saja, karna saya benar2 tak mampu lagi terus melihatnya menderita. Saya pasrah agar Allah segera melepaskan segala penderitaanya.
Jumat, 2 Agustus 2013 pukul tiga dini hari, kami dipanggil dokter untuk masuk. KOndisi Mashka kritis. Kami di NICU, melihat anak kami dipompa jantungnya, berjuang melihat dunia. Erat saya dan abinya saling berpegang tangan, mencoba untuk kuat dan terus melafadzkan Alfatihah tanpa jeda. Saat itulh jantung Mashka kembali menguat, saturasi udaranya mencapai 96, degubnya juga kencang. Allah Maha Besar!

Sejak itu, saya dan abinya bergantian menunggunya, meski kami tahu raga anak kami tak lagi bergerak, namun jantungnya masih berdetak. Alfatihah dan Al Ikhlas terus kami dengungkan di telinganya. Kami ikhlas jika Allah mengambil milikNya dari kami. Kami hanya dititipi, maka ketentuan terbaikNya yang terus kami mohon.
Sampai akhirnya pukul setengah delapanan, saatnya para perawat memandikan bayi2, kami ‘diusir’ dari ruangan. Saat itu jantung saya terus berdebar. Terakhir kali saya meninggalkan Mashka dalam keadaan baik2 saja menjadi buruk ketika saya meninggalkannya sekedar untuk ke kamar mandi. Bagaimana kali ini?
Benar saja.
10 menit tidak berada di dekatnya, kami dipanggil kembali. Kondisinya memburuk. Dokter meminta kami menunggu di luar NICU. Terus saya membaca Alfatihah dan Al Ikhlas.
Kami ikhlas, nak…apapun ketentuan terbaik dari Allah untukmu dan kami.

Kami ikhlas…

Alfatihah dan Al Ikhlas terus kami lantunkan.

Dokter meminta kami untuk masuk

“Adek sudah tidak ada, bu, pak. Kami sudah berusaha semampu kami”. Kalau saja saya tidak ingat ini semua adalah ketetapanNya, ingin rasanya saya memarahi semua dokter atau tepatnya residence yang ada di situ, termasuk perawat. Tapi Allah masih memegang hati saya dan abinya, kami mengucapkan terimakasih dan mereka memberi waktu kepada kami untuk bersama dengannya sebentar.

Saya harus kuat.

Meski kemanusiawian saya ingin sekali meraung menagis sekerasnya, tapi saya hanya menangis secukupnya kemudian mengeringkannya. Saya ciumi jasad anak saya yang kini ruhnya telah berpisah darinya. Saya  cium kening, pipi, hidung, bibir, tangan, perutnya yang kini tampak pucat namun seperti tertidur damai. Saya bisikkan padanya bahwa kini ia tak sakit lagi. 

Bahagia di syurga ya, Nak..
Kini kamu telah sehat dan bahagia, hari Jumat ini pasti begitu banyak malaikat yang ikut menjemputmu dan menyambutmu kembali di syurga.
Umi dan Abi ikhlas, tunggu umi dan abi ya, nak… Tunggu umi dan abi..
Tunggu umi dan abi..

Mba ida, kakak saya yang sejak kondisi Mashka kritis sudah saya kabari dan langsung menemui kami di RS menjadi tempat bersandar saya. Tapi entah, saya tidak menangis begitu keras meski rasanya ingin. Ada perasaan lega tersendiri ketika kemudian saya menyadari bahwa Allah telah memilih melepaskan penderitaan Mashka dan menggantinya dengan kebahagiaan untuk menjadi penghuni surgaNya kembali, seperti sebelum Ia menitipkannya di rahim saya selama 9bulan lebih. Yang terbaik menurutNya, memang kadang bukan yang terbaik yang kita harapkan.

Setelah dibersihkan, Mashka dibawa ke ruang jenazah. Kali ini budenya yang menggendongnya. Air matanya bercucuran. Air mata saya sudah tak lagi keluar. Yang ada hanya rasa lemas yang amat sangat. Saya merasa limbung, seolah berada pada mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tapi saya tahu, saya tidak boleh runtuh, saya harus kuat mendampingi anak saya. Bahkan ketika abinya dan mas Erwin, teman kantor abinya, memandikan Mashka, saya melihatnya dari dekat. Badannya yang bersih benar2 seperti bayi yang sedang tertidur. Beberapa teman kantor abi yang datang mengajak saya untuk keluar ruangan, tapi saya menolaknya. Saya kuat, saya ingin melihat sampai anak saya selesai dikafani. 

“Dia tidur kok, lihat..” kata mas Erwin ketika mengkafaninya sambil sesekali menyeka air matanya.
Wajah bersihnya tak terlihat kesakitan lagi. Allah telah mencabut rasa sakitnya. Allah lepaskan penderitaannya. Anakku kini begitu sehat dan damai.

Berurusan dengan rumah sakit itu menyebalkan. Tadinya kami masih harus menunggu ambulance untuk membawa Mashka pulang. Untunglah, lagi2 teman2 kerja abi langsung mengkoordinir beberapa mobil kantor membawa Mashka pulang. Abi sendiri yang membopong Mashka selama di mobil. Saya duduk di sampingnya. Melihat anak saya yang kini berbalut kain putih di seluruh tubuhnya. 2 minggu lalu ia masih bergerak begitu aktif di rahim saya, kini ia harus kembali ke sisi Allah. “Mimpikah ini, Ya Robb?” 

Begitu sampai rumah, sudah ramai tetangga dan kerabat yang di sana. Bergantian semua menyalami saya. Saya ingat sekali, beberapa dari mereka menjadi saksi semangat saya ketika Mashka masih berada di Rahim. Beberapa orang tua yang sering saya panggil simbah, bahkan terlihat bergetar menahan tangis. Ingatan saya tertuju saat usai sholat berjamaah beliau yang paling sering mengucap doa untuk kami.
Yang sabar ya.
Yang tabah ya.
Ikut berbelasungkawa.
Sabar ya, nok.
Semua menyalami dan mengucapkan belasungkawa serta menyabarkan. Saya bagai robot yang terprogram menyalami dan menjawab mereka para pelayat. Sekuat tenaga tetap menarik ujung kanan kiri bibir agar terlihat tabah meski hanya satu sentimeter.
Terimakasih.
Insya Allah, iya terimakasih.
Iya, matur nuwun.

Begitu sampai di depan ibu, saya tidak kuat lagi, saya menubruknya, memeluknya. Saya tumpahkan tangis saya di pelukan ibu. Sejenak saya terisak di pelukannya, melepas kesedihan yang tertahan. Ibu mengelus punggung saya dan terus menabahkan saya. Wajah lelahnya begitu terlihat karena baru pulang dari rumah sakit dimana Bapak dirawat, saya tak tega, saya harus kuat.

Setelah puas menangis di pelukan ibu saya, saya minum teh hangat yang telah disiapkan untuk saya. Saya bertekad untuk tetap kuat di depan anak saya. Saya mandi, dan keluar menemui para pelayat. Tidak saya pedulikan lagi apa pakaian saya cocok/ tidak warnanya. Raga saya linglung, seolah mati rasa. Pikiran saya menerawang, senyum adalah usaha terberat bagi saya saat itu. Mencoba untuk tetap kuat, tabah dan menerima bahwa semua ini bukan mimpi dan saya masih harus melanjutkan hidup.
Mashka terbujur kaku di dalam langgar. Saya sedang nifas, tentu tak bisa menyentuhnya yang kini telah suci. Ketika jamaah kakung menunaikan shalat Jumat, saya bersama ibu2 lainnya menemaninya di serambi langgar. Ah, anakku, karnamu umi jadi selalu bersemangat jamaah di langgar, dan mengejar ayat demi ayat Al Qur’an hingga khatam. Umi kejar simpati Allah agar kelak dijadikanNya kau seorang anak sholeh dan cerdas. Umi kejar ridho Allah membuatmu menjadi anak yang membahagiakan keluargamu dan sesama.

Ternyata Allah justru lebih simpati dan ridho terhadapmu, hingga kau dipanngilNya untuk menjadi pelindung umi dan abimu, sampai-sampai kau dipilihNya menjadi penghuni jannahNya yang abadi. Kini jasadmu ada di langgar yang tiap saat umi selalu berdoa agar kelak kau tumbuh menjadi pribadi yang mencintai jamaah, seperti abimu dan kakung2mu. Bukan untuk sholat tapi disholatkan. Allah mencintaimu, nak. Ini jugakah tanda cintaNya pada kami, umi dan abimu?

Abi membopong sendiri tubuh Mashka ke peristirahatan terakhirnya. Suamiku, dia begitu terlihat kuat, walaupun semuanya memberi saran agar kakak kami yang membopongnya, abinya bersikeras membopongnya sampai ke liang lahat. Banyak pelayat yang kagum pada keteguhannya. Saya begitu bangga padanya. Mashka pasti juga sangat bangga padanya.

Usai pemakaman, masih begitu banyak yang melayat. Rata2 menanyakan Mashka kenapa. Saya sekuat tenaga terus menerus mengulang cerita, mendulang duka lagi dan lagi, namun harus tetap kuat dan menyungging senyum. Senyum yang saya harap sebagai bentuk keikhlasan saya pada ketetapanNya. 

Begitu malam menyelimuti, dan hanya tinggal saya dan suami, rasanya begitu sepi. Rindu kami pada Mashka begitu membuncah. Air mata kami kerap kali tertumpah. Sungguh di saat-saat seperti itu, saya begitu bersyukur pada Allah yang telah menganugrahkan saya seorang suami yang begitu sabar dan penyayang. Selama satu minggu saya memang tampak begitu kuat ketika di siang hari. Ini semua demi orang tua kami, yang memang sedang sakit dan sempat di rawat di RS selama beberapa hari sebelum Mashka menghadapNya.


Ya, inilah jawaban bagi semua yang menanyakan Mashka kenapa. Bodohnya, saya baru mendapat penjelasan dari seorang residence yang cukup komunikatif tidak lama sebelum Mashka kritis. Diagnosis sakit yang diderita Mashka adalah megacolon/ dirsprung. Sebuah kelainan usus besar yang menyebabkan bayi susah BAB. Tapi apakah Mashka meninggal karena ini? Jawabannya bukan. Selama dirawat, mashka tidak diperbolehkan mengkonsumsi ASI dan hanya mendapat infus dan antibiotik. Ya, sampai akhirnya dokter bilang darahnya telah terinfeksi dan infeksinya menyerang ke pernafasan. Sampai di akhir hayatnya, perjuangan mashka justru melawan infeksi itu. Saya merasa sangat bersalah ketika kemudian saya mendapat penjelasan lewat artikel2 yang baru saya browsing setelah Mashka tiada.
Bodohnya saya!!
Kemana saja kamu, din???!!
Kenapa baru sekarang mencari info??!?!?
Kenapa kamu diam saja saat Mashka tidak diperbolehkan ASI?!
Kenapa kamu ga nekat ngasih ASI, padahal kamu tau ASI itu antibody paling tinggi untuk bayi?!
Saya terus2an menyalahkan diri saya. Saya merasa linglung ketika Mashka sakit. Fisik yang belum sempat istirahat setelah melahirkan, ditambah beban psikis yang begitu berat membuat saya tidak mampu berpikir jernih lagi. Saya hanya manut dengan prosedur RS yang tidak memberi kepastian. Bahkan dokter anaknya yang tak pernah menyentuh pasiennya kecuali ketika menyuntikkan antibiotic melalui infus.
Kenapa saya membawanya ke RS yang di dalamnya penuh residence yang anak saya seolah hanya dipandangi dan dijadikan percobaan? Kenapa saya tidak mengalihkannya ke RS lain saat kondisinya terlihat cukup membaik? Kenapa baru sekarang saya mengetahui ada dokter bedah yang recommended dan dekat dari rumah? Kenapa saya begitu panic, padahal megacolon short type bisa disembuhkan tanpa bedah? Kenapa saat USG 4D tidak terlihat tali pusat yang begitu pendek sehingga saya bisa memilih Caesar dan bukan normal? Kenapa saya tidak melakukan USG 4D dua kali ketika tidak puas di dokter yang begitu ketus? 

Kenapa dan kenapa. Saya terus menyesali kejadian lalu yang tidak mungkin merubah apapun. Dan lagi2 suami sayalah yang selalu menguatkan. Saya tahu dia sama terpuruknya dengan saya, namun keegoisan saya menjawab bahwa sayalah yang mengandungnya selama ini, bahkan di RS hanya saya yang diperbolehkan masuk ruang intensif dan menyaksikan segala pengobatan yang menyakitkan itu.
Sejurus kemudian, saya tersadar  saat keponakan saya mengatakan pada saya bahwa sekarang suami saya sering sekali melamun. Ya Allah, ampuni saya… Begitu banyak teman yang datang mengunjungi saya hingga beberapa hari sepeninggal Mashka. Mereka datang menghibur, memberi semangat dan sebagainya. Tapi bagaimana dengan suami saya? Dia mungkin sedang sendiri bersedih, itupun masih menyabarkan saya ketika saya masih sering menangis merindukan Mashka. Betapa egoisnya saya.

Beberapa waktu lalu saya dan suami menyempatkan untuk jalan2. Pesan orang tua kapada kami justru sering2 refreshing dan jalan2. Kami sadar kami harus melangkah walaupun berat. Saya berada di toko buku dan memilih beberapa buku. Bagi saya, membacalah yang mampu membuat saya lebih termotivasi. Dan menulislah yang mampu mengurai kesedihan menjadi titik2 hikmah untuk memperingatkan diri. Saya sampai pad rak psikologi, dan menemukan buku terbaru Oki Setiana Dewi, “Dekapan Kematian – Saat Belahan jiwa Pergi Meninggalkanmu”.

DEG!

Saya rasa saya harus membacanya.
Lewat buku itulah saya lagi2 tersadar. Lewat kisah Sepuluh Prajurit Syurga, saya berusaha kembali bangkit. Seorang ibu yang dianugrahi Allah begitu cepat hamil, namun begitu cepat pula anak2nya terenggut dari sisinya, ya, kesepuluh anak2nya telah tiada, baik ketika masih di dalam maupun di luar rahimnya. Saya belajar dari banyak peristiwa yang saya baca. Saya mulai mencari makna dari semua kejadian ini. Saya mulai membaca buku2 motivasi kembali untuk menggugah semangat saya, untuk mengembalikan lagi keikhlasan dan kepasrahan terhadap jawaban atas segala doa yang terpanjat.

Allah menganugrahi saya seorang suami yang kesabarannya tak pernah habis, begitu pula keluarga yang tak kalah luar biasanya. Saya sadar saya masih ada di antara mereka. Merekalah yang sekarang harus saya jaga. Mashka memang belahan jiwa, buah hati yang selama ini dinantikan, tapi Allah telah berkehendak mengambilnya. Jika saya tidak melakukan apa yang saya sesali di atas, apakah Mashka masih bersama saya saat ini, tidak ada yang mampu menjamin, bukan? Allah menuliskan setiap takdir di Lauhul Mahfudz, setiap jiwa yang memiliki nyawa akan mati. Mashka dipilih Allah untuk menjalani sepuluh hari hidupnya, umur saya pun telah tertulis di kitab yang sama.

Tiga tahun ditambah sembilan bulan lebih menanti kehadiran buah hati dengan penuh kesabaran rasanya belum cukup untuk Allah dalam pembuktian cinta kami padaNya. Masih ada kesabaran lain yang harus diperjuangkan, masih ada ujian keikhlasan yang harus dijalani. Dan berulang doa dari saudara, kerabat dan sahabat atas ‘kelulusan’ kami menghadapi ujian ini semoga menjadi doa yang diijabah Allah. Dan sungguh, ini semua bukan hal yang mudah kami hadapi. Tapi Allah yang Maha Memenuhi Janji tidak akan pernah ingkar bahwa setelah kesulitan pasti ada kenikmatan. Pada akhirnya, kami bersyukur pada Allah yang telah menganugrahkan kami seorang prajurit syurga, Mashka, yang bukan hanya sempat memberi kebahagiaan di dunia, tapi janji kebahagiaan di akherat. Juga syukur kami karena Allah memilih kami menjadi salah satu orang tua penerima ‘tabungan’ akherat. Aamiin.

Kepada orang tua dan calon orang tua, termasuk saya, peluklah anak kalian, sayangilah mereka. Beberapa kali saya menemui bayi yang begitu sehat namun disia-siakan orang tuanya. Rasanya miris sekali. Semua anak kecil begitu sempurna di mata saya. Mereka hanya makhluk murni, orang tuanyalah menjadikan seperti apa mereka kelak. Mungkin Mashka akan lebih beruntung dibanding mereka yang sejak bayi disewakan untuk mengemis, mereka yang ditelantarkan di pekarangan rumah orang dan tumbuh di panti asuhan, mereka yang tak pernah diakui keberadaanya, atau mereka yang hidupnya dipenuhi dengan hardikan dari orang tuanya. Karena sepenuh jiwa saya dan abinya akan menyamankannya, membahagiakannya, mendidiknya penuh kasih dan sayang… tapi kenapa Mashka justru diambilNya secepat ini? Ya, mungkin karna memang Allah punya sesuatu yang ingin disampaikan melalui Mashka, untuk kami orang tuanya, untuk keluarga kami, dan untuk siapapun yang membaca tulisan ini. 

Allah yang memiliki semua jiwa di alam ini, dan sebaik-baiknya tempat kembali adalah di sisiNya. Dan saya yakin, anak saya Mashka yang Allah panggil di hari Jumat di bulan Ramadhan lalu adalah anak syurga yang telah disiapkan untuknya taman syurga yang indah. Merindukannya, jelas…Ibu mana yang bisa berpisah dengan anaknya yang begitu dinanti setelah sembilan bulan lebih berada dalam raga yang sama. Tapi kerinduan ini harus saya dan abinya jaga agar tak menjadi jalan syaitan untuk membuat kami durhaka pada ketetapanNya. Berat sekali rasanya, bahkan saya merasa hampir gila menanggungnya. Terlebih ketika kami harus menghadapi prasangka makhlukNya. Tidak dipungkiri juga, syaitan juga yang tak pernah lelah menggoda. Kami terkadang masih goyah. Di pagi dan malam2 saat berdua, kami saling menguatkan, saling mengingatkan. Semoga Allah menjaga hati kami dari prasangka buruk terhadap qadarNya.


Jadilah prajurit syurga,nak..
Bermainlah di taman syurga bersama prajurit lainnya.
Tunggu umi dan abi, seperti prajurit lain menunggu orang tua mereka.
Kelak genggam tangan kami erat saat memasuki pintu syurga…tuntun langkah kami memasuki Jannatuna’im..
Kami bangga padamu, Nak…seperti bangganya orang tua yang melihat anaknya berjuang hingga syahid.
Allah, bahagiakan anak kami di syurgaMu, kuatkan kami menerima segala ketetapanMu. Kuatkan kami menapaki kisah selanjutnya, dan berikanlah kami kesempatan kembali untuk menimang buah hati yang lebih manfaat dan barokah. Aamiin.


Diantara kerinduan dan keikhlasan, Agustus 2013.