Bohong jika aku bilang sudah diuji dengan begitu berat. Kisah2 Mesir yang kubaca kemarin malam membuatku tersadar bahwa ujianku kehilangan seorang putra masih belum apa2 dibanding mereka yang kehilangan suami, anak, adik dan keluarganya yang lain karena kekejaman junta militer. Dan setelahnya mereka masih harus terus menghadapi teror. Belum lagi kisah Syuriah, Palestina, dan berbagai area konflik lainnya.
Seorang ayah yang kehilangan putrinya dan seorang kakak yang kehilangan adiknya yang cantik karena tembakan snipper di dadanya. Seorang wanita yang kehilangan pria, yang belum lama menjadi suaminya, yang tertembak di dagu hingga menembus lehernya. Betapa mereka kuat.
Sehari lalu seorang tetangga ke sini. Kami mengobrol banyak. Salah satunya tentang Mashka.
"Ah, din sempat terpikir ga jadi olehku pas syawalan itu datang kemari untuk ngepasin bajumu." beberapa waktu lalu aku memang memesan baju darinya.
"Tapi begitu ketemu, malah aku yang heran kamu masih bisa tertawa. Sampai aku sempat ngomong sama suami, kalau saja aku yang kehilangan, mungkin aku uda gendong2 guling kemana2 karna stres. Kamu dipilih karna kamu yang kuat menjalani ini." ungkapnya yang membuatku menerawang sejenak.
"Ah, kalau saja kamu tau bahwa akupun masih terus berjuang agar selalu kuat, rin..."
Lalu meluncurlah ceritaku tentang rumah sakit dimana Mashka pernah dirawat. Dimana aku bertemu dengan ibu2 yang begitu tegar dan sabar. Pada awalnya, tentu aku tak bisa berhenti menangis, meratap dan meratap. Tapi sekarang aku tau, sebelum semua ini, Allah melatih dengan pertemukanku dengan mereka agar aku mampu kuat dan memahami makna.
Pada hari pertama Mashka dirawat, saat mataku masih bengkak dan sembab setelah menangis dari pagi, sorenya aku bergabung dengan ibu2 lain di ruang memeras ASI. Karena ASI ku yang belum banyak keluar dan belum mengerti tekniknya juga, hampir 2 jam aku diruangan itu. Dan selama itu pula berganti2 teman yang datang dan pergi.
Salah seorang memberi tahu tentang jaminan yang seharusnya kami urus. Bahkan dia memberi kami contoh data2 yang harus kami persiapkan.
"Kita ga tau mbak kapan anak kita di sini, jadi lebih baik pergunakan apa yang bisa meringankan" Ah, terimakasih mba Yulie...dari situ aku berkenalan dengannya.
Saat melihat mataku, seolah sudah terbaca bahwa aku baru di situ. Keingiintahuanku menggelitik untuk bertanya, walopun belum ada yang kukenal di ruangan itu.
"
Ibu2, maaf ya...kok ibu2 di sini begitu kuat dan sabar?" tanyaku.
Seorang ibu tertawa, aku makin penasaran.
"Hoalah mbak, kalo di sini kita stres, gimana anak kita yang di dalem sana", ungkapnya.
"Bener, mbak. Anak kita kan sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Untuk siapa? Ya untuk kita, untuk ketemu sama kita orang tuanya. Kalo kita nangis, kasihan mereka. Kita harus kuat mbak." jawab ibu yang lain
"Kita harus semangat, mbak. Biar anak kita merasakan semangat kita dan diapun makin semangat berjuang." celetuk yang lain
"Tuhan ga akan mungkin ngasih kita ujian kalau kita ga mampu menanggungnya, mbak...Sabar...sabar itu kunci pokoknya."
"Jangan sekali-sekali nangis di depan anaknya ya, mbak. Kalo mo dibilang, ga ada seorangpun yang mau di sini seperti kita. Kita juga ga minta akan seperti ini. Tapi kita harus sabar. Kita yang terpilih menjalani ini, berarti kita lebih kuat dari ibu2 yang lain yang anaknya sehat. Sabar ya mbak, di sini kita ikhtiar" yang lain menasehati.
Hati ini mendadak seperti dibangunkan benteng kokoh dan diam2 berbisik dalam hati,
"Ya, saya harus kuat demi Mashka yang sedang berjuang".
Yach, meskipun kami tau, apapun bisa terjadi di ruangan itu. APAPUN. Keajaiban atau kehilangan. Semua menyadari itu. Tapi demi hormon oksitosin yang merangsang air susu kami keluar, kami harus bahagia. Demi buah hati kami yang meski menderita tapi terus berjuang untuk bersua dengan kami para orang tuanya.
Saat kami harus berhadapan dengan mereka, ibu2 yang baru saja kehilangan buah hatinya, kami tau dan sadar bahwa bukan tak mungkin kami pun akan berada pada posisinya. Kemudian kami akan saling mendoakan. Begitupun denganku, saat ternyata aku harus berada pada posisi itu. Sepenuh hati akupun berdoa agar mereka yang masih tegar menunggui anaknya tetap diberi kekuatan, kesabaran dan yang terbaik. Kala itupun mereka akan bergantian memeluk, bahkan beberapa sampai menyusul di ruang jenazah untuk mengantar Mashka dan menguatkanku seperti saat aku pertama kali di sana.
Pembicaraan kematian bukan hal yang baru. Kami tau, kami harus berdamai dengan cobaan ini. Oksigen, ventilator, selang irigasi, selang residu, bukan lagi jadi pembicaraan yang asing, apalagi infus. Terimakasih Allah, pernah mempertemukanku dengan mereka. Dari merekalah aku belajar untuk tetap tegar. Allah melatihku, sebelum aku harus berpisah dengan jagoanku. Dia Yang Maha Mengetahui pasti telah memperhitungkan segalanya. SEMUANYA, tanpa cela. Mungkin jika aku tidak diperkenalkan dengan ibu2 ini, aku tak kuat menjalani ini semua. Betapa Dia telah mengatur semuanya begitu detil.
Kemarin (dengan mengerahkan segala kekuatan hati), aku dan suami pergi ke RS dimana Mashka dirawat. Niat awalnya jenguk salah seorang guruku yang dirawat karena stroke. Namun setelahnya, kita memutuskan untuk bersilaturahim kepada orang-tua2 temen Mashka. Begitu sampai di lantai yang dituju, terlihatlah tikar2 karet/ plastik sudah digelar. Ya, sudah bada magrib, emperan ruang tunggu sudah disulap jadi tempat tidur para orang tua yang menunggui buah hati mereka. Tidak seramai saat aku masih di sana. Dalam hati aku bersyukur, semoga yang tidak lagi aku temui adalah mereka yang sudah bisa kembali ke rumah dengan sukacita.
Ada mbak Yulie, kenalan pertamaku di sana. Kami bersahabat layaknya anak kami yang memiliki nasib serupa. Hanya saja Mashka bertahan selama satu minggu, dan Gendhuk (panggilan utk anak mba Yulie) terus berjuang selama hampir dua bulan. Ibu yang luar biasa sabar ini menceritakan perkembangan anaknya. Masuk ke ruang isolasi karena adanya kuman baru, saturasi udara yang naik turun sampai biru, dan tentang dokter yang ketus dan tidak peduli. Dan apakah sahabatku ini menceritakannya dengan menangis? TIDAK! Bahkan dia tersenyum, juga suaminya. Meski aku dan suami tau betul, sisa kepanikan dan kelelahan tergambar jelas di wajah mereka.
Ingatanku tiba2 menangkap Mashka ketika biru. Sambil berusaha tetap tenang berusaha memancing refleknya. Ya, menahan kepanikan ketika anak kita mungkin telah ditunggu sang Izroil, itulah tugas kami. Dan hal itu juga yang mbak Yulie dan ibu lain lakukan demi terus kuat berada di samping buah hati tercintanya.
Cerita lainnya mengalir. Beberapa kasus prematur sudah pulang. Beberapa yang sudah menjalani operasi juga sudah pulang, walaupun ada operasi lanjutan ketika sang bayi sudah memiliki berat cukup. Beberapa ada yang menyusul Mashka. Ada yang sudah pulang, namun ketika kontrol harus masuk lagi karena kondisi yang masih butuh perawatan. Bahkan ada yang pulang paksa. Prosedur ini digunakan untuk keluarga yang sudah 'menolak' tindakan medis lanjutan dan membawa pasien pulang. Tak henti2nya saya menyebut Allah dalam hati.
"Jangan nangis, din. Kamu di sini untuk menguatkan, bukan menangis dan kembali meratap", tak henti2nya ucapan itu terlontar dalam hati.
Pelukan dan genggaman erat sambil diam2 berdoa saya berikan
pada mba Yulie dan mba reni yang kebetulan cuma mereka yang sempat saya temui. Yang lain, mungkin masih menunggu di dalam. Sepenuh hati saya berdoa semoga Allah berikan yang terbaik bagi sang buah hati dan orang tua mereka yang begitu sabar.
Allah menguji kita sesuai pada kadarnya. Dan ketika ujian itu mampu dilalui, itu berarti kita telah melompati satu tangga menuju tingkatan atasanya.
La Tahzan...karena Allah bersama saya dan siapapun anda yang sedang menghadapi ujianNya. Dia hanya sedang mengungkapkan betapa cinta dan perhatianNya begitu besar pada kita. Maha Mengetahui Allah yang mengetahui kekuatan kita untuk menghadapi ujianNya.
La Tahzan...
Dan Allah Maha Menepati Janji, maka ketika saya kembali merindukan Mashka,
inilah yang saya ucapkan, doa yang sama ketika Ummu Salamah kehilangan Abu
Salamah di medan jihad dan Allah mengganti Rasulullah menjadi suaminya.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii
mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik
Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap
musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”,
Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Semoga saya, dan anda bisa
mengambil hikmah dari apa yang menimpa orang2 di sekitar kita.