Masih inget tentang posting beberapa waktu lalu tentang orientasi dan kebutuhan, kan? Subhanallah, setelah mempublish posting tersebut, aku langsung dapet ujian. Masih tentang orientasi atau kebutuhan hidup, namun dalam konteks yang agak berbeda. Ternyata benar, ya... Kita bukan hanya harus jago 'omong' atau nulis tentang cara pandang kita, tapi harus dibuktikan juga. Dan benar saja, Allah langsung menguji konsistensiku terhadap apa yang pernah kutulis di posting tersebut.
Beberapa hari lalu, aku mendapat tawaran pekerjaan di sebuah bank syariah. Sebagai admin (micro back office ) dan lokasi kantornya hanya membutuhkan 10 menit perjalanan via sepeda motor. Yang terlintas langsung di pikaranku saat mendapat tawaran itu adalah : perkerjaan yang tidak memakan pikiran dan waktu serta lokasi yang sangat dekat. Memang masih outsourch, tapi hal itu tidak terlalu mengusikku, walaupun pada akhirnya temanku yang memberi tawaran tersebut menjelaskan panjang lebar mengenai banyaknya kesempatan berkarir menjadi pegawai tetap, belum lagi soal honor, THR dan bonus yang setara dengan pegawai tetap.
Di saat yang bersamaan, aku dan suami memang memerlukan biaya tambahan untuk segera merealisasikan rencana-rencana kami. Baiklah, kuakui saja, tawaran ini memang hampir menyilaukan. Masuk tanpa tes, kesempatan berkarir luas, kerjaan mudah dan lokasi deket. Betapa impian para pekerja banget... :D. Suami juga menyambut baik tawaran tersebut.
Namun, Alhamdulillah-nya, aku mendalami keuangan syariah kala kuliah dulu, bahkan pernah magang di suatu instansi syariah, meskipun masih standar kecil. Dan jelas sudah, meski berlabel syariah, aku masih meragukan beberapa praktek di lapangan. Inilah yang kemudian memancingku dan suami untuk bermuhasabah, beristikharah dan berusaha bertanya kepada orang yang ilmu agama maupun akademiknya lebih luas.
Aku mulai bertanya kepada salah seorang Ustadz, sebut saja ustadz 1. Dari awal beliau tidak mengatakan riba. Bahkan beliau menjelaskan akad apa saja yang terdapat di bank yang bukan merupakan praktek riba. Namun setelah aku menjelaskan tentang calon posisiku, beliau menjelaskan bahwa meskipun tidak berhubungan langsung, namun termasuk 'subhat', atau mendekati haram, dan jika ada yang lain sebaiknya ambil yang lain.
Yak, dapat satu jawaban. Pertanyaan yang sama kuajukan juga pada saudara sepupuku. Mas sepupuku ini memang terkenal dapat dipercaya dan InsyaAllah ilmu akademik dan agamanya juga luas. Dan hasilnya, beliau menyarankan hal serupa dengan Ustadz 1.
Masih belum puas, aku menanyakannya kepada teman sekaligus Ustadzah bagiku. Mencoba menilik dari sisi lain. Dan hasilnya, ya, tetap sama. Hukumnya Subhat. Jadi apalagi yang akan diperdebatkan? Kebutuhan kami untuk segera pindah rumah? Keperluan berobat? Modal Usaha?
Satu kalimat yang disampaikan ketika aku menanyakan hal ini dari teman 'ustadzah'ku itu :
"Din, meninggalkan sesuatu karena Allah, akan diganti dengan yang jauh lebih baik. Yang Subhat, tinggalkanlah."
Bukan hal yang mudah, terlebih memang harapan di depan mata mulai terlihat dekat jika aku mengambil kesempatan ini. Tapi Allah telah memperkenalkan diriNya padaku lewat Mashka, maka kini prioritas terbesar dalam hidupku hanya pulang ke kampung akherat dengan tenang dan diterima di surga hijauNya, bertemu dengan putra pertamaku, memeluknya dan membersamainya dalam kekekalan.
Terlintas dalam pikirku tafsir yang sering kubaca atas ijin Allah, bahwa sebenarnya semua makhluk hidup yang ada di alam ini mendapat petunjuk dan hidayah. Namun sebagian dari mereka memalingkan dirinya dari kebenaran, dan seketika itu juga Allah palingkan hati mereka dari petunjukNya.
Na'udzubillah...
Dan kali ini Allah sudah jelas memberiku petunjuk, kalo aku terima juga, maka aku dengan sengaja membelok dari aturanNya yang sangat jelas.
Dan setelah berdiskusi dengan suami, kami memutuskan untuk tidak menerimanya dengan keyakinan Allahlah yang akan menjamin kami.
Bukan bermaksud menggurui, aku hanya belajar dari apa yang menimpaku selama ini, dan bermaksud berbagi. Sudah jelas, hukum Allah tak perlu dipertanyakan, terlebih ditawar... Ikuti saja, toh hidup ini kan tujuannya untuk mendapat pahala. (Ehm, kalimat ini sebenernya baru kedapet tadi pagi dari hasil pengajian).
Jadi, sekali lagi...coba tanyakan pada diri, apakah orientasimu sekarang?